Chapter 2 : Bella
Dian pulang tengah malam lagi hari ini. Sejak berurusan dengan skandal si calon Gubernur dia selalu pulang tengah malam karena asyik mencari informasi-informasi yang berkaitan dengan skandal tersebut. Dia baru tiba di rumah jam setengah satu pagi . aku menunggu kedatangannya sambil menonton berita tengah malam di televise. Saat Dian datang, dia masuk tergesa-gesa ke dalam rumah dan tampak sedikit agak panik. Aku yang membukakannya pintu seperti tak digubris dan dia langsung masuk ke ruang tengah dan mengeraskan volume suara televisi. Aku mengikutinya dari belakang dengan penuh rasa kebingungan.
“Aku curiga ada yang mengikutiku.” Jelas Dian. Dia menghempaskan diri duduk di sofa dan bersandar dengan kelelahan yang menghantui wajahnya. “Tadi orang di kantor bilang ada orang-orang yang tak jelas yang sering mondar-mandir di sekitar kantor. An mobil Jeep tadi mengikutiku cukup lama, bahkan sampai ke sini. Setahuku tak ada orang di sekitar komplek sini yang punya mobil Jeep seperti itu.”
“Hah? Maksud mbak Dian, mbak dibuntutin?” tanyaku heran.
“Ya, bisa jadi. Dia kan orang kaya, menyewa pembunuh apa sulitnya.”
“Maksud mbak, si calon Gubernur yang sedang mbak usut kasusnya itu? Mbak ada-ada aja. Terlalu ekstrim menyewa pembunuh, mungkin cuma preman yang diupah buat menakut-nakuti mbak.
“Kalau dia berani bunuh aku, hidup dia akan semakin tambah kacau. Skandal dia sudah terbongkar kemana-mana.” Dian tersenyum hambar. “Besok malam dia tak akan bias tidur dengan tenang, aku dapat informasi baru yang pasti akan heboh….” Dian berhenti bicara dan mengeraskan volume televisi.Aku tahu maksud tindakannya itu, dia sengaja melakukannya untuk mengelabui seandainya ada yang menguping pembicaraan kami saat itu agr tidak mendengar dengan jelas apa yang kami bicarakan. “…aku curiga dia melakukan penggelapan pajak yang sangat besar.”
“Hah?” aku melongo karena terlalu terkesima mendengar apa yang dikatakan Dian. “Yakin atau Cuma sekedar curiga?”
“Aku yakin, El. Sekitar seminggu ini, menjelang pilkada, ada Auditor Independen yang mengaudit kekayaan para kandidat sebelum pemilihan. Dia kan pengusaha yang punya berbagai macam jenis usaha, begitu juga istrinya, mana mungkin hanya kena PPh 10 %.”
“Bukannya dia punya usaha tetap pembuatan kapal di daerah Makassar, kalu sedang lari penghasilannya bias sampai milyaran rupiah pertahun. Selain itu, seingatku, dia juga punya saham di salah satu hotel di Bali dan Malaysia dengan nilai saham preferen yang sangat besar.”
“Kamu tahu dari mana, El?”
“Jangan pikir anaknya yang bernama Bella itu tutup mulut soal kekayaannya.”
“Oh, maksud kamu Bella yang satu angkatan dengan kamu itu kan. Memangnya dia seperti apa?”
“Kalau mbak Tanya sama saya, saya dengan senag hati akan menjawab. Dia itu orang byang bangga dengan kekayaannya, senang pesta pora, arogan. Pokoknya dia itu mirip sama remaja kaya yang sering ada di sinetron di aTV, deh.” Aku tak tahu lagi harus mendiskripsikan Bella seperti apa. Membayangkan wajahnya saja aku sudah muak. Aneh rasanya kenapa aku jadi benci padanya, padahal dia tidak pernah berbuat salah kepadaku. Tapi kalau ingat kelakuan dia, rasa benci itu muncul tanpa diundang.
“Dia pernah bilang apa tentang ayahnya?”
Aku mencoba mengingat-ingat sepanjang waktu perkenalan aku dan Bella. Pertama kali aku kenal dia adalah saat ospek kuliah. Teman-teman SMA ku banyak yang mengenalnya atau hanya sekedar tahu tentang dia, tetapi aku tidak, bahkan aku tidak peduli. Mereka menyebutnya sebagai anak pengusaha yang dapat mengahsilkan uang segudang tiap bulannya. Dia diperlakukan sangat istimewa saat ospek berlangsung waktu itu, tidak dimarahi, tidak dijemur, tidak disuruh lari-lari, dan tidak pernah dihukum. Yang aku dengar, tak ada yang berani menyentuhnya karena ayahnya member sumbangan lebih dua per tiga biaya renovasi gedung fakultas dan dia meminta balasan agar Bella ‘tak tersentuh’ di kampus. Sepertinya hal itu disetujui kedua belah pihak.
Tak pernah kusangka kami memiliki sedikit persamaan. Kami mengambil jurusan yang sama, dan parahnya lagi kami berada di kelas yang sama. Dari semester ke semester aku selalu bertemu dia, entah ini dalam atau di luar rencana,aku mencoba untuk tidak peduli. Walau selalu bertemu dia di tiap semester, kami tidak pernah jadi sahabat dan tidak sangat akrab di ruang kuliah sekali pun. Aku tidak tahu di mana letak ‘sangat beharga’ menjadi shabatnya.
Dian tiba-tiba menyenggol lututku, membuat buayar lamunan masa lalu yang ku coba rangkai kembali. Aku masih ingat apa yang dia tanyakan tadi. “Bella jarang bicara tentang ayahnya di depanku. Sejak mbak memuat artikel skandal ayahnya di koran, semuanya jadi aneh…. Tapi dia pernah bilang kalau ayahnya terpilih jadi Gubernur, dia akan traktir makan teman-temannya.”
“Kamu?” Tanya Dian ingin tahu.
Sudah pasti aku menjawabnya cukup dengan gelengan kepala.
Dian mendengus, ”Tak layak masuk berita. Coba kamu akrab sama dia.”
“Orang seperti itu namanya orang licik.” Kataku sambil pergi meninggalkan Dian menuju kamarku. Aku sangat ngantuk dan membicarakan Bella membuat kantukku semakin menjadi-jadi.
*****

0 Komentar:

Post a Comment