STOP
Chapter 1 : masalah baru yang tak perlu
   Elsie gunawan, teman-teman biasa memanggilku El, dan jika mereka mengirim SMS kepadaku mereka lebih sering menyapaku dengan tulisan ‘L’. Umurku saat ini jalan dua puluh satu tahun dan sedang menjalani kuliah semester lima di sebuah Fakultas Ekonomi di salah satu Universitas Negri. Setengah dari orang-orang yang aku kenalk senang mengenalku dan mereka menyukaiku, seperempat yang lainnya segan terhadap diriku namun tetap membalas sapaanku saat aku menyapa mereka, seperempat sisanya malas berurusan denganku dan cenderung kearah benci untuk berurusan denganku. Aku tak tau salahku di mana, aku hanya berusaha menjadi diri sendiri.
   Aku tinggal bersama kakak perempuanku yang bernama Dian, berhubung dia juga memanggilku El, maka aku memanggilnya Di, dan dia tidak pernah protes sedikit pun. Dia kakak perempuan yang baik, dia tau bagaimana menangani orang seperti aku tanpa harus mengeluarkan banyak energi hanya untuk mengaturku supaya lebih baik. Dia juga cantik, lumayan pantas jika harus disandingkan dengan anak presiden sekali pun.
  Kami tinggal di rumah kontrakkan yang sudah tua dengan gaya arsitektur khas Belanda. Rimah itu sudah lama berdiri sejak zaman penjajahan dan pernah menjadi tempat tinggal seorang petinggi Belanda. Sekarang rumah itu bukan milik orang Belanda atau keturunannya lagi, karena rumah itu sudah dibeli oleh datuk si pemilik rumah ini sekarang. Entah bagaimana Dian bias mendapat sewaan di rumah itu, yang aku tau si pemilik rumah saat ini, Haji Abdullah, mengontrakkan rumah ini kepada kami dengan harga murah. Dian memang terkadang mempunyai kenalan luar biasa yang sering membantunya atau bahkan menyusahkannya.
Dian bekerja di bidang yang sangat dia sukai, menjadi seorang wartawan di sebuah Koran pagi ternama. Sekarang dia terkenal sebagai penguasa rubrik kota dan politik. Tak hanya dia yang senang dia menjadi seorang wartawan, aku juga senang. Lagipula aku sangat kenal kakakku itu seorang pribadi yang sangat kritis dan profesional dan rubrik apapun yang dia tangani pasti akan “OK”.
   Sejak dua hari yang lalu ada satu kekhawatiran yang menggangu aku dan kakakku. Dian memuat sebuah artikel mengenai salah satu calon Gubernur dengan skandal korupsi dan permainan hukum yang tertutup rapat. Mungkin bagi Dian ini hal biasa, namun bagiku ini sangat menggangu. Bukannya aku tersinggung dengan isi artikel itu, melainkan anak dari si calon Gubernur berskandal itu adalah temanku. Memang kami bukan teman baik, akrab, apalagi bersahabat. Ditambah lagi dengan tulisan Dian tentang skandal si calon Gubernur membuat suasana setiap kali terjadi pertemuan antara aku dan anak si calin Gubernur berskandal itu jadi seperti kemarau panjang, sangat tidak mengenakkan. Aku tidak bias menghindari pertemuan kami, karena kami satu angkatan dan berada di fakultas dan jurusan yang sama. Memang kami tidak akrab, namun aku tau banyak tentang dia.
Suasana semakin tidak mengenakkan karena setiap hari Dian memuat bukti-bukti skandal si calon Gubernur itu secara mengerikan. Berita ini menjadi sangat heboh, Koran laku keras karenanya dan orang-orang yang peduli terhadap artikel itu tau siapa penulisnya; Dian Gunawan. Si calon Gubernur berskandal itu sendiri melakukan penyangkalan besar-besaran melalui berbagai koran, tabloid, maupun majalah, bahkan saat pidato kampanyenya. Tak hanya di media cetak, wajah si calon Gubernur berskandal juga sering muncul di berita TV dan dia selalu berkata kepada wartawan seperti,”Ya, itu hanya perbuatan orang yang tidak ingin saya ikut Pilkada. Orang-orang dan berita seperti itu pasti selalu ada menjelang Pemilu, Pilkada atau bahkan Pilkades sekalipun.”
   Aku muak dengan setiap keadaan seperti ini, dimana aku jadi korban efek samping dari tulisan Dian yang selalu membuat orang ingin berkomentar.


0 Komentar:

Post a Comment