…. Kafe pelangi
Kafe Pelangi baru buka setelah tengah hari. Pemiliknya yang bernama Jolie pastilah bangun kesiangan. Semalam kafe itu adalah kafe terlaris dan paling padat pengunjungnya di antara semua kafe yang ada di kota itu. Orang-orang seperti tak henti-hentinyanya datang ke kafe sampai hujan deras datang mengguyur dan para pengunjung memutuskan untuk pulang dengan berhujan-hujanan. Setelah semua pengunjung pergi Jolie menutup kafenya dengan senyum yang teruntai di wajahnya yang kelelahan, namun puas dengan pengunjung yang datang malam itu. Sebernya Jolie malas sekali membuka kafe hari ini karena dia merasa amat sangat malas dan lelah. Hanya saja kafenya adalah kefe terbaik di kota di kota yang tak pernah sepi pengunjung dan selalu menghasilkan banyak uang, jadi Jolie merasa harus selalu membuka kafenya agar bias dapat banyak uang.
Pintu masuk kafe menderit berbunyi. Tak lama kemudian dari balik pintu muncul seorang gadis berperawakan tinggi dan kurus dengan rambut pendek berwarna coklat. “Jolie, kamu di mana ?” teriakya saat memasuki kafe. Tak ada jawaban dari Jolie. Gadis itu krmudian berjalan menuju sudut kafe, di mana di san ada sebuah pintu dari kayu yang menghubungkan kafe dengan sebuah ruangan semacam ruang kerja. Di ruang itu biasanya Jolie mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiata kafe. Mulai dari menghitung untung dan rugi kafe, bebam gaji para karyawan -yang sebenarnya merupakan teman-temannya sendiri-, daftar lau yang diputar untuk meramaikan suasana kafe, jadwal pertunjukan band-band penghibur, sampai pada tata lampu juga diatur melalui ruangan ini. Gadis itukemudian perlahan membuka pintu dan masuk ke dalamnya. Dilihatnya Jolie tenggelam dibalik meja kerjanya yang penuh dengan berbagai macam buku catatan.
“Ada apa?” Tanya Jolie sambil mendongak memandangi gadis itu.
Gadis itu memasukkan kedua tangannya ke dalam sku celananya , lalu menghirup nafas dalam-dalam. “Boleh aku pinjam uang sekali lagi?” pintanya dengan wajah memelas.
“Untuk apa? Hutangmu sebulan yang lalu sepeser pun belum kau bayar.”
“Aku inain ikut pemilihan model iklan. Uang pendaftarannya seratus ribu rupiah dan ku pikir aku harus ke salon agar terlihat lebih cantik.”
“Aku tak yakin akan menghutangimu. Kalau kamu tidak terpilih, akmu tidak dapat apa-apa kan. Bagaimana kamu akanmembayar hutang-hutangmu?”
“Aku rela bekerja di sini walau tidak di bayar.”
Jolie terdiam. Dia mempertimbangkan apa tawaran gadis itu. Mempekerjakan seseorang tanpa harus membayarnya, tetapi memakai tenaganya sebagai karyawan dan memperhitungkan hal itu sebagai sebuah bakas jasa gadis itu kepada Jolie karena telah menghutangi dirinya. Sedikit menguntungkan, pikir Jolie. Tapi dia tak dapat mempercayai gadis itu menjadi karyawannya begitu saja. Bagaimana mungkin seorang yang begitu suka berhutang tetapi belum sepeser pun membayar hutang-hutangnya dapat bekerja dengan baik. Seorang yang seperti itu adalah seorang pemalas. Seorang yang tidak dapat dipercaya. Dilihat dari penampilannya pun, gadis itu tidak member jaminan dengan baik. Penampilannya agak berantakan. Sulit untuk dipercaya seorang dengan pierching di hidung dan bibir dapat melayani pengunjung dengan baik. Seorang sepertiitu tidak pernah selalu melakukan sesuatu secara benar.
“Ku rasa aku tidak dapat mempekerjakanmu menjadi karyawanku walau pun kamu tak meminta bayaran.” Kata Jolie kemudian.
Gadis itu terdiam mendengar pernyataan Jolie. Dia tak tahu harus berkata apalagi untuk meyakinkan Jolie. Dia sendiri sebenarnya sadar bahwa tak banyak orang di dunia ini yang yakin pada dirinya. “Aku tahu. Ku rasa kau sama seperti yang lain. Tak dapat mempercayai orang aku, kan?”
Jolie mengangkat kedua bahunya. “Entahlah, tapi aku sedang sulit sekarang.”
“Maksudmu?”
“Aku juga tak tahu, yang pasti aku sedang merasa sulit untuk beberapa hal.”
“Oh, begitu. Mmmm …. Ku rasa sebaiknya aku pergi sekarang.”
Gadis itu lalu berjalan hendak ke luar. Saat mendekati pintu dan sebelum membukanya, gadis itu berhenti dan berkata, ”Semoga kamu bias mengatasi semua kesulitanmu, Jolie. Aku bersumpah akan membayar semua hutangku seandainya aku mendapat pekerjaan. Dan ku harap aku bias menjadi model iklan itu. Aku tidak terlalu buruk, kan?!”
Jolie tersenyum hambar. Dia malas mengakui bahwa gadis itu limayan manis. Sejenak, Jolie menatap kasihan kasihan pada gadis itu. Mengapa dia tidak berpikir untuk mencari pekerjaan yang lebih menjajikan dari pada terlalu berharap dari audisi seperti itu.
Tiba-tiba sebuah pikiran mengetuk hatinya. Gadis itu yang salah atau dia yang tidak berperi kemanusiaan, tidak mau member kesempatan pada gadis itu? Kalau dia katakan hal ini pada ibu, adik atau pun teman-temannya, mereka pasti akan berkata ‘jangan menilai sesuatu dari penampilnnya’.

0 Komentar:

Post a Comment