Malam itu, saya duduk di dalam mobil bersama ayah. Mobil kami melaju santai menuju kota sepulang dari bandara, menerobos gelap malam yang tak berlampu jalanan. Beberapa kali saya tengok ayah yang duduk tertidur di samping saya, dia hanya diam. Tak ada obrolan basa-basi, nyanyi-nyanyian tak karuan seperti yang biasa saya lakukan dengan teman-teman saya ketika di dalam mobil. Satu-satunya yang tak diam hanya beberapa penyiar radio dan penyanyi yang saluran radionya selalu saya gonta-ganti. Saya duduk dengan berbagai macam posisi demi mencari kenyamanan suasana duduk di dalam mobil. Dan ayah adalah orang yang paham betul tentang hal ini, dia tidak pernah protes dengan gaya saya ketika mengemudi, selama itu membuat saya nyaman.
Seperti ini lah hubungan kami. Berbicara bukanlah satu hal wajib, lebih baik diam daripada hanya sekedar basa-basi. Sekitar sepuluh tahun yang lalu, saya baru menyadari, mungkin sifat pendiam ini turunan dari ayah. Tidak mau ambil pusing ini juga sepertinya sifat turunan juga. Semakin lama saya perhatikan, hampir 70% diri saya turunan dari ayah. Mungkin karena kami punya golongan darah yang sama dan juga lahir di bulan yang sama.
Sudah lebih satu jam dia tertidur dalam perjalanan ini. Saya tak ingin membangunkannya, hanya ingin membuat dia merasa nyaman dalam tidurnya. Sedikit membiarkan dia menikmati mimpinya, jika dia sedang bermimpi. Karena sekarang saya tak punya banyak waktu untuk memperhatikannya ketika dia sedang tidur seperti sekarang.
Dengkuran pelan ayah memberikan ritme tersendiri dalam perjalanan ini. Saya hanya bisa tersenyum jika mendadak dengkuran itu berganti ritme. Tersenyum untuk setiap protes atas dengkuran itu yang dulu pernah sering saya lemparkan ketika masih TK. Sekarang, saya sudah tidak berdaya lagi untuk protes.
Saat kecil dulu, entah apa yang merasuki saya hingga menomor-duakan ayah setelah ibu. Mungkin karena waktu yang saya habiskan bersama dia tidak sebanyak ibu. Dia bekerja dari pagi hingga kadang malam. Dia sudah pergi ketika saya masih sibuk mandi dengan terburu-buru ketika pagi hari, kemudian baru pulang saat saya sedang mandi dengan santai di sore hari, atau ketika saya sudah tertidur dan entah berkelana dalam mimipi macam apa di malam hari. Dia tidak selembut ibu, namun dia lah yang menggendong saya setiap kali tertidur di depan tipi menonton siaran bola tengah malam. Dia memang bukan tempat mengadu untuk setiap masalah yang saya hadapi, tapi dia lah yang selalu menjadi tameng saya. Dia yang tanpa malu datang ke sekolah ketika saya di hukum guru hanya karena jadi suporter tawuran.
Kini, setelah pertemuan kami bernilai tiga hari dari tiga bulan dan ribuan kilometer, selaput-selaput jarak itu baru terbuka. Pernah ku sesali mengapa perlu waktu sekian tahun untuk menyadari arti dirimu, perlu jarak sejauh ini, perlu pekerjaan se-memusing-kan ini untuk mensyukuri nafkah yang kau berikan dulu. Mungkin ini faktor umur yang sudah mulai menggiring ku pada jiwa lelaki dewasa, yang sudah cukup dewasa untuk merasakan peran menjadi ayah seperti dia nanti. Dan sedikit nasehat dari lagu Ebith G Ade ; titip rindu buat ayah.
*Teruntuk mereka yang rindu dengan ayah/abah/bapak, dan sedang berada ditempat yang jauh. Untuk mereka yang mengecup tangan ayahnya ketika bertemu dan akan berpisah. Sedikit inspirasi dari beberapa orang yang kerinduannya bisa ku tangkap.
0 Komentar:
Post a Comment