Review Buku : Please Look After Mom

Buku hasil buruan di bazar Gramedia ; Please Look After Mom, Surat Panjang Tentang Jarak Kita Yang Jutaan Tahun Cahaya, Waktu Pesta Bersama Cinta

Cerita sampul belakang : 
"Sepasang suami-istri berangkat ke kota untuk mengunjungi anak-anak mereka yang telah dewasa. Sang suami bergegas naik ke gerbong kereta bawah tanah dan mengira istrinya mengikuti di belakangnya. Setelah melewati beberapa stasiun, barulah dia menyadari bahwa istrinya tidak ada. Istrinya tertinggal di Stasiun Seoul.
Perempuan yang hilang itu tak kunjung ditemukan, dan keluarga yang kehilangan ibu/istri/ipar itu mesti mengatasi trauma akibat kejadian tersebut. Satu per satu mereka teringat hal-hal di masa lampau yang kini membuat mereka tersadar betapa pentingnya peran sang ibu bagi mereka; dan betapa sedikitnya mereka mengenal sosok ibu selama ini, perasaaan-perasaannya, harapan-harapannya, dan mimpi-mimpinya."

Buku ini merupakan sebuah karya dari Kyung Sook Shin, penulis wanita asal Korea Selatan. Menceritakan tentang kisah sebuah keluarga yang mendadak harus menerima kenyataan hilangnya sang ibu di stasiun Kereta Seoul. Cerita dalam buku ini dibagi dalam empat sudut pandang; anak perempuan pertama, seorang penulis novel, sangat menyesal karena merasa tak bisa merawat ibunya dengan baik saat sakit; anak sulung laki-laki yang berprofesi sebagai karyawan perusahaan properti, merasa tak bisa memenuhi harapan ibunya setelah apa yang sudah dilakukan oleh ibu selama ini kepadanya; ayah, suami yang menyadari bahwa selama ini tidak memperlakukan istrinya dengan baik; Seekor burung, refleksi dari ibu yang mengenang kembali beberapa hal yang sudah terjadi dalam hidupnya. 

Saya membeli buku ini ketika iseng mampir ke Gramedia Veteran Banjarmasin yang ternyata sedang ada bazar buku di halaman parkir motor. Setelah mengamati beberapa tumpukan buku, mata saya langsung tertarik pada sebuah buku dengan sampul sederhana bergambar detail daun berwarna hijau dengan huruf hangul korea terpampang di sampul depannya. Berhubung saya ini orang yang sangat gampang terpikat hanya dengan sebuah sampul, pertimbangan untuk membelinya pun hanya berlangsung secepat kilat, hehehe... Kemarin beli pas bazar harganya cuma Rp25.000 looh..

Saya belum terlalu banyak membaca karya sastra dari Asia Timur. Beberapa yang sudah pernah saya baca seperti Penari-Penari Jepang karya Kawabata Yasunari; Kami Anak-Anak Bom Atom karya Osada Arata, yang mana kedua buku tersebut sama-sama berasal dari Jepang. Tapi entah mengapa, saya merasa sepertinya hawa-hawa tulisan dari asia timur ini mirip-mirip, ya. Dominan dari segi deskripsi, kata-katanya tidak berbelit-belit, dan mengalir dengan sangat lancar.

Dari segi cerita, alur yang diangkat dalam buku ini adalah maju-mundur-cantik (eeee... emangnya si incess) Intinya buku ini bercerita tentang hari dimana sebuah keluarga tiba-tiba harus menghadapi kenyataan hilangnya sang ibu, dan dimulai pada hari itu berbagai macam usaha pencarian terus dilakukan. Dan selama masa pencarian ini lah memori dari masing-masing pihak dalam keluarga tersebut bermunculan. Konflik yang terjadi dalam cerita ini pun sepertinya sudah biasa dialami oleh kita semua. Hanya saja bila dalam kehidupan nyata kita lebih fokus pada ego kita masing-masing yang hanya memikirkan konflik tersebut dari sudut pandang kita, sedangkan dalam buku ini, kalau menurut saya pribadi sih, lebih membuka sudut pandang baru dari pihak lain. 

Yang paling saya sukai dari buku ini adalah bagaimana sang penulis sukses menggambarkan perasaan seorang ibu. Perasaan yang muncul ketika anggota keluarga menganggap sesuatu adalah hal kecil, tapi bagi ibu itu merupakan hal penting. Memanglah benar, seperti apa yang diungkap oleh Path (yang entah ditulis oleh siapa) ketika saya membuat status Path dengan reading this book bahwa sudut pandang kita pada seorang Ibu akan berubah setelah membaca buku ini.

Karena buku ini telah berhasil membuka pandangan baru saya tentang seorang ibu, saya pastikan bahwa buku ini patut untuk direkomendasikan untuk dibaca oleh semua umur, khususnya untuk yang berstatus anak dan suami.

Untuk dua buku lainnya yang juga saya beli pas bazar, nanti saya ulas juga kalau sudah selesai baca. Saya itu ya, kalau ketemu buku bagus bacanya gak pernah sebentar, pasti makan waktu, karena biasanya buku bagus bakal membuat saya memikirkan hal-hal yang terkandung dalam buku tersebut. Bukan jadi baper sih, tapi bawa pikiran, hehehehe...

My Doodle

my doodle big

A sweet friend on tumblr drew me in doodle. Is it look like me?

Kalo biasanya ngeliat kreasi google dengan doodle nya, sekarang sudah banyak orang yang jago gambar ngebikin doodle. Salah satu nya ya teman saya di tumblr ini, Beth Jorgensen.

Suatu hari ketika masih jadi newbie di tumblr, saya dapat suggest akun dia. Karena dia sering ngepost hasil lukisan karya dia, ya udah saya follow aja. Hingga suatu hari dia menawarkan untuk membuatkan doodle kepada siapa saja dengan syarat follower dia dan submit foto sebelum tanggal 31 Nopember 2012. Jadilah saya ikutan dan taraaaaaaa hasilnya benar-benar memuaskan. Saya gak nyangka saya bakan digambar sebagus ini. Dia sangat detail, bahkan jumlah gigi saya dan di foto yang saya submit ke dia sama jumlahnya. Bahkan dia memberi warna pada mata, jeli sekali dia melihat warna mata saya yang coklat. Padahal kalo dilihat sepintas berwarna hitam.

Beruntung sekali orang-orang yang dilahirkan dengan bakat menggoreskan garis dengan indah. Saya dulu ketika SMA juga pernah bikin sketsa seperti ini, tapi itu butuh waktu lama. Karena itu tugas sekolah, jadi diberi waktu seminggu. Dan saya baru selesai beberapa hari. Sedangkan Beth, sehari saja dia bisa posting samapai 3 foto. Wow.

#30HariLagukuBercerita Perempuan Itu

Saat itu pukul satu pagi, Jenny sudah siap berlayar menuju alam mimpi, tapi dering sms yang berbunyi membawa nya kembali ke daratan dunia nyata. Sebuah sms ke-14 masuk dari orang yang sama.

Jen, besok ikutan ngumpul di Pizza Hut ya, jam 4 sore. Si Dina Ultah.

Sekejap rasa kantuk hilang dari mata Jenny. Tanpa membalas sms itu, Jenny meletakkan hp secara sembarangan di meja kecil yang terletak di samping kiri ranjangnya.

“Heh! Perempuan itu lagi,” gerutu Jenny.

Dalam diam, langit-langit kamar yang tak berdosa dipandanginya seolah-olah menuntut penjelasan tentang sosok Dina. Dikepalanya berkumpul setan-setan kecil yang bergerombol menawarkan jasa untuk melenyapkan Dina. Tapi sepertinya langit kamar terlalu polos mengerti apa yang bergelayutan dipikiran Jenny, tak ada penjelasan yang diberikan.

***

Jenny baru datang ke PH jam 5 kurang 5 menit 5 detik. Ada sekitar 5 orang yang telah berkumpul disana. Dilihat dari formasinya, nampaknya semua undangan sudah datang. Duduk paling ujung meja ada Dina, si empunya pesta. Di sebelahnya ada Dani, orang yang sudah mengsmsnya tadi malam. Kemudian duduk di seberang mereka berdua 3 orang teman pria yang lain; Bram, Pras, Tim.

“Akhirnya datang juga,” celutuk Dani.

Jenny tak menyahut, ekspresinya datar. Dia berjalan ke arah meja dan menerka kursi kosong di sebelah Dani telah disiapkan untuk tempat duduknya, kemudian duduk di sana tanpa permisi.

“Kok lama sih, Jen?” tanya Dina.

“Tadi kerjaan aku di kantor belum selesai, Din, jadi gak bisa datang cepat.” Jawab Jenny dengan berbohong. Jauh dilubuk hatinya Jenny enggan untuk berhadir ke tempat ini karena sedang berusaha untuk jaga jarak dengan Dina.

“Menunya udah dipesan buat kamu, Jen. Minumnya orange jus, ya? Dani bilang kamu suka orange jus.”

Jenny menoleh ke arah Dina dan tersenyum sebagai bentuk terima kasih. Tak sengaja matanya menangkap basah tangan Dina yang menggandeng tangan Dani di bawah meja. Jenny sontak mematung dalam hitungan detik. Dalam memorinya terputar kembali saat ketika suatu senja Dani duduk disebalahnya bermain game.

“Dan, Dina ini kok galau begini yah di twitter?” tanya Jenny sambil memperhatikan satu-persatu isi timeline Dina.

“Galau kenapa, Din?”

“Ya, galau. Coba kamu baca, kayaknya dia suka sama seseorang tapi nomention gitu deh.”

“Sama siapa? Sama aku ya? Hehehe,” Dani tertawa cekikikan sambil terus asik bermain di laptopnya.

“Ya kali.” Jenny mendadak merasa darah disekujur tubuhnya beku. Kehangatan yang biasa nya ada ketika dia bersama Dani yang sudah hampir setahun dia kenal tiba-tiba menjadi dingin yang terasa asing. “Emang dia udah kamu apain aja sih?”

“Gak aku apa-apain, Jen. Biasa aja kok, kayak aku ke kamu aja lah.”

“Heh? Berarti lumayan akrab dong?”

“Dina kan orangnya baik banget, Jen. Jadi gampang akrabnya.”

“Udah ngapain aja?”

“Gak ngapa-ngapain, jalan juga belum pernah. Cuma BBM-an doang.”

“Ciyeee, BBM-BBM-an. Aku sih ya gak punya BB ya, jadi gak bisa ikut-ikutan BBM-an. BBM-an apa aja?”

“Ah, biasa. Si Dina suka cerita-cerita gitu?”

“Ciyeee curhat-curhatan.”

“Apaan sih, Jen? Kalo orang baik kita tuh gak enak kalo gak dibalas baik.”

“Ya Dina cantik sih, baru kenal 4 bulan langsung bisa akrab aja.”

“Hahaha, mubazir Jen kalo cewek cakep dicuekin.”

“Tuh, kan…” Jenny mengangkat telunjuk kanannya dan langsung menunjuk ke wajah Dani.

Dani yang semula asik bermain game mendongak. Jenny setengah kaget melihat reaksi Dani tersebut. Ibarat satu banding seribu, sangat jarang perhatian Dani teralih ketika bermain game. “Aku gak ada apa-apa kok sama dia, Jen.”

Mendengarnya Jenny jadi segera menurunkan telunjuknya dan merasa kikuk sendiri. Kikuk yang dia rasakan saat itu tak berbeda jauh dengan yang dia rasakan saat ini. Tapi ada rasa yang sedikit berbeda, semacam rasa perih di atas luka yang diperas jeruk purut.

Dengan sedikit mencuri keberanian, Jenny mengangkat wajahnya dan menatap Dani. Dani sendiri sedang asik berbicara sambil tertawa dengan Pras yang duduk persis dihadapannya.

‘Katanya gak ada apa-apa, tapi nyatanya tangan bergandengan di bawah meja. Apa maksudnya kemaren bilang gak ada apa-apa? I don’t trust people but the fact.’

#30HariLagukuBercerita Say…..onara

Empat jam terdekam mengerjakan psikotest dalam ruangan pengap dengan AC yang ku terka mungkin keluaran negri Panda, sukses membuatku berhalusinasi. Sekeluarnya dari gedung tempat berlangsungnya tes itu, ku hipnotis diriku sendiri bahwa aku berada di surga. Air mancur yang mengucur di depan gedung ini adalah telaga Salsabil, rumput yang terpotong rapi jadi semacam refleksi permadani surga, dan perempuan yang duduk bangku taman itu mungkin adalah bidadari. Ah, ternyata dia Bertha, teman ku yang sudi menungguiku ikut tes ini dan lebih memilih bolos kuliah.

“Gimana?” tanya Bertha sambil tersenyum ketika aku tinggal tiga langkah lagi ke arahnya.

“Nooooooo….” jawabku singkat dengan O yang panjang.

“Gak papa, Say, mungkin ini bukan yang terbaik buat kamu.”

Please, Berth, gue udah tau itu sebelum lu kasih tau’, gumamku dalam hati. Ya, sebatas dalam hati, karena gak mungkin menodai senyum Bertha dengan kecemberutan karena kata-kata judes ku itu.

“Kita jalan-jalan aja yuk, Say, refreshing. Kamu mau kemana?”

Aku hanya mengangkat bahu. Baru sekitar 30 jam di Jogja hanya cukup membuatku mengenal kawasan Malioboro dan Jalan Dagen, tempat ku menginap.

“Terserah, Bert. Yang penting bisa jalan-jalan sekalian cuci mata.”

“Kita ke Amplas aja yuk, dekat kok dari sini, jalan kaki juga bisa.”

Kali ini mungkin Bertha yang menghipnotis ku. Aku menuruti saja ajakannya jalan kaki menuju Amplas dan memasrahkan diri berjalan kaki di bawah teriknya matahari.

Kami keluar meninggalkan gedung tempat tes ku tadi berlangsung. Aku dan Bertha berjalan berdampingan sambil mengobrol dan menunduk-nunduk menahan panas dan juga malu. Bingung arah, Bertha menoleh kanan kiri, menebak-nebak sendiri kemana arah menuju Amplas. Tak jauh dari tempat kami berdiri, seorang pria berkacamata berkemeja coklat muda juga nampak celingak-celinguk. Ku toleh dia, dan hanya butuh satu detik untuk ku menyadari bahwa dia tadi juga mengikuti tes yang sama denganku, pria ini duduk dua meja di depanku. Dia melangkahkan sebelah kaki nya menuruni trotoar.

“Nyeberang aja yuk,” usul Bertha tiba-tiba.

Dan kami bertiga pun berjalan beriringan membelah kemacetan di jalan Urip Sumardjo. Kemacetan yang sama sekali asing bagiku, dengan orang-orang asing yang ku potong jalannya, bangunan-bangunan asing di sepanjang jalan, dan seorang pria asing yang berjalan satu meter di depanku. Setelah menyebarangi jalan dia berbelok ke kanan, begitu juga dengan Bertha. Aku yang buta arah hanya mengikuti mereka saja.

Ku perhatikan pria asing itu dari belakang. Badannya tinggi, kurus, dengan pundak yang tidak terlalu lebar. Ku terka umurnya tak jauh beda denganku, mungkin sekitar 23 sampai 25 tahun. Sepintas kuperhatikan wajahnya ketika di ruangan tadi, rautnya nampak lebih tua dari umurnya. Bisa jadi karena dahi nya yang lebar menambah kesan dewasa yang terlalu cepat menghampiri umurnya. Dari cara dia berpakaian, nampak bahwa pria ini memberi kesan mapan. Dia pandai memilih kemeja dan celana yang pas dengan bentuk tubuhnya. Sepatu? Aku langsung menundukkan kepala ke arah sepatunya ketika teringat penilaian standarku terhadap sepatu pria. Andai ini audisi, pria ini lolos ke tahap kualifikasi selanjutnya. Sepatu pantofel dengan hak rendah berayun gagah mengikuti goyangan kaki si pemakai, ukurannya tak jauh beda denganku.

Entah sudah berapa jauh kami berjalan. Aku bingung kenapa Bertha terus membawa ku berjalan kaki, tanpa berinisiatif mengajakku naik becak atau memanggil taksi saja dan langsung minta diantar menuju Amplas. Tapi hal itu tak menjadi masalah bagiku lagi ketika Bertha naik ke dalam Halte Trans Jogja. Setelah menunggu sekitar dua menit, Bus pun datang. Aku dan Bertha masuk beriringan, dan pria itu pun berdiri tepat di belakangku ketika masuk.

Di dalam, aku dan Bertha duduk bersampingan, sedangkan pria itu duduk di seberangku. Semenjak di gedung tadi hingga saat ini, tak sekalipun pria itu menegurku. Mungkin dia sama sekali tidak menyadari bahwa kami baru saja mengikuti test psikotest beasiswa yang sama, dan sama-sama tidak lulus.

“Say, cowok yang pakai baju coklat ini tadi ikut tes yang sama dengan kamu kan?” tanya Bertha setengah berbisik.

“Iya,” jawabku sambil mengangguk pelan.

Kulirik dia, mencuri-curi dari sudut mataku, mengawasi geriknya yang mungkin saja merasa bahwa sedang jadi bahan obrolah di antara kami. Ternyata dia sama sekali tidak peduli dengan keadaan di sekitar, nampak asik dengan BB dalam genggamannya.

“Cakep, ya, Say.”

Aku terkejut mendengar ucapan Betha barusan. Tak kusangka dia juga memperhatikan pria ini.

“Mas,”

Aku terkejut, walaupun sudah terbiasa dengan hal yang akan terjadi ini, Bertha mulai mengeluarkan jurusnya.

“Kamu tadi juga ikut tes bareng dia, kan?”

Bertha menunjuk ke arah ku. Seketika aku kikuk. Aku tak biasa beramah-tamah atau pun sok akrab dengan orang asing. Namun ternyata pria itu mengangguk. Aku bisa bernafas lega dan bisa memusut dada. Tapi memusut dada enggan kulakukan saat ini, hanya tak ingin dia tahu aku sempat tegang berhadapan dengannya.

“Mau kemana?” tanya Bertha nampak lancar dengan aksinya.

“Pulang.”

“Pulang kemana?”

“Ke rumah, dekat Bandara.”

“Oh, dekat sana. Eh, kamu tau gak tempat yang jual oleh-oleh dekat bandara? Tapi yang murah. Temanku ini dari Banjarmasin, dia mau bawa oleh-oleh tapi biar gak repot sekalian aja belinya dekat Bandara.”

Aku hanya tersenyum, mendukung semua akting yang dilancarkan Bertha. Aku yang menginap di Malioboro, pusat oleh-oleh, sama sekali tak berniat berbelanja oleh-oleh seperti apa yang dikatakan Bertha.

“Ada sih, Mbak, toko di dekat bandara yang menjual aneka souvenir.”

“Oh, ya. Di daerah mana?”

Kedua orang ini kemudian terlibat pembicaraan mengenai alamat yang sama sekali tidak ku tau. Entah jalan apa yang mereka perbincangkan. Pria itu mencoba menggambarkan peta jalan di udara. Tangannya melukis garis transparan yang tak ku mengerti.

“Gak mudeng aku, mas. Bisa minta no.Hp mu? atau pin aja deh. Biar nanti kalau bingung aku bisa langsung nanya kamu aja.”

Nampaknya Bertha sukses 100% dengan misi nya. Mereka berdua lalu bertukar no.Hp dan pin BB. Aku hanya diam melihat mereka berdua. Ku tatap Bertha, gadis ini selalu berhasil dengan trik nya berkenalan dengan laki-laki. Untungnya tak perlu waktu lama berada dalam situasi canggung ini. Bus ini berhenti di suatu halte dan Bertha pun mengajakku turun. Berdua kami turun meninggalkan pria itu. Sepintas dari pembicaraan mereka tadi, kudengar dia bernama Abdi

“Kapan lagi, Say, bisa ketemu dia. Aku di sini kan cuma tinggal sebulan lagi, say. Kenapa tadi aku gak bilang ‘So call me, maybe? ya,” Kata Bertha ketika kami akhirnya menapakkan kaki di lobi Amplas.

“Terserah kamu lah, Berth.” Komentarku singkat.

Ku ingat-ingat, tak sekalipun pria itu melirikku ketika di dalam bus tadi, kecuali ketika Bertha mengatakan bahwa aku ingin mencari oleh-oleh di dekat Bandara. Aku pun juga tak menyapa dia duluan. Apakah dia merasa bahwa sedang aku perhatikan? Apakah dia takut jika ku perhatikan seperti tadi? Sayangnya kami tidak sempat berkenalan. Dan mungkin dia hanya mengenalku sebatas Say. Sayang? Sayur? Say, Sayonara? Atau mungkin sempat terpikir olehnya bahwa aku adalah pacar Bertha.

#30HariLagukuBercerita Aku Bisa Apa?

Sore kala itu belum senja, tapi sembarut kuning bergradasi sudah menghampar menyelimuti langit. Angin yang berhembus membelai dengan penuh kasih sayang, seolah-olah ingin memberikan ketenangan pada jiwa-jiwa yang diterpanya. Alam tau bagaimana dia harus bersikap, dia bebas dan jujur.

Aku duduk di pangkuan kursi besi panjang. Dihadapanku terbentang sungai yang luas dengan batas langit yang tak ku tau dimana ujungnya. Beriak sungai nampak berkilauan diterpa matahari sore. Suasana saat itu indah, salah satu nuansa sore favoritku. Ku nikmati kebesaran yang Tuhan anugerahkan lewat cantiknya sore saat itu. Ku hirup nafas dalam-dalam seakan takut tak bisa ku temui sore yang indah seperti ini lagi. Kepada sore lah jiwa ku diberikan. Andai bisa, aku ingin menjelma menjadi awan yang nampak bahagia disinari matahari sore.

Hingga kemudian suara ketokan sepatu memecah lamunanku. Kau datang, seperti biasanya, tanpa pernah ku tau kapan kau akan datang kapan kau akan pergi.

“Hallo,” sapamu singkat.

Aku hanya tersenyum. Untuk orang sepertimu, aku tak tau balasan yang tepat untuk kata hallo itu seperti apa, kecuali segaris senyum tak bersuara yang bisa kuberikan. Sejak dulu kala, aku ingin memberitahumu bahwa efek sapaan singkatmu yang berbunyi hallo tak pernah sesingkat 5 huruf yang terabjadkan.

“Segar ya anginnya.”

Aku hanya mengangguk.

Kau lalu duduk di sampingku. Berdua kita menikmati indahnya sore dengan penghayatan masing-masing.

“Jadi kamu benar-benar akan pergi?” aku memberanikan diri bertanya. Dan entah datang keberanian dari mana, ku toleh wajahmu. Sering aku bertanya-tanya apa yang dimaksud dengan konspirasi alam. Kini aku sudah tau jawabannya. Kau yang duduk santai disampingku, memandang langit luas, sesuatu yang indah di sore favoritku.

Kau hanya mengangguk sambil menggerakkan kepala untuk melemaskan lehermu.

“Sayang ya, coba bisa di sini lebih lama lagi.”

Demi indahnya sore ini, aku menyayangkan kenyataan bahwa tak ada yang abadi di dunia ini. Pun indahnya sore, juga moment keberadaanmu disampingku.

We all go ‘round and ‘round

Partners are lost and found

Looking for one more chance

All I know is,

We’re all in the dance

“Life is like a dance.” Aku bergumam, berharap kau mendengar.

“Heh?”

“Hidup itu ibarat tarian. Takdir itu ibarat musik yang dimainkan untuk kita menari. Rasakan beat-nya, ikuti rithme-nya, dan menarilah sesuai irama.”

“Ngomong apa sih?”

“Sayangnya Tuhan bukan DJ yang bisa kita request lagu apa yang kita inginkan. Kita menari sesuai lagu yang dimainkan. Selanjutnya kita hanya punya pilihan untuk ikut menari atau tidak.”

“Hmmm….”

Night and Day, the music plays on

We are all part of the show

While we can hold on to someone

Even though life won’t let us go

Feel the beat, music and rhyme

While there is time.

“Jika kamu adalah lagu, maka kamu adalah lagu kesukaanku. Saking sukanya, aku akan menari setiap kali mendengar lagu itu dimainkan. Sekarang jika kau pergi, maka aku tak akan pernah mendengar lagu itu dimainkan lagi. Jadi aku tak akan menari, dan tak akan ada tarian semacam itu lagi. Aku bisa apa? ‘Oh, God, please don’t stop the music, please don’t switch that song’ ?”

Perlahan indahnya sore memudar menuju senja. Aku tak pernah tau mengapa sesuatu yang indah harus berjalan singkat. Dayaku hanya sepanjang nafas, tak cukup untuk mengenggam jiwa mu agar tetap bertahan di sini, di sampingku.

Mendadak Liburan #Jogja

Tahun 2012 ini, akhirnya tercapai juga doa saya kepngen liburan. Awalnya tahun ini saya merencanakan liburan dengan teman baik saya, @jannatinnaimah, kami sudah merencanakan liburan ini sejak jauh-jauh hari. Kemana tujuannya tak ditetapkan, tapi yang penting kami bisa pergi berdua bersama. Hal nomor uno nya sih saya kepengen banget ngerasaain naik kereta, di Banjarmasin gak ada kereta maaakk…
Dan sekitar akhir Mei yang lalu, saya mendapat satu kesempatan untuk liburan. Lebih tepatnya liburan yang dipaksakan. Waktu itu saya mencoba buat ikutan yang namanya tes beasiswa S2 salah satu universitas bisnis swasta bergengsi lah di Jakarta. Untuk tahap seleksi saya milih Semarang, namun karena pesertanya tak memenuhi kuota sehingga di drop ke Jogja.
Saat mengetahui lokasi yang berpindah dari Semarang ke Jogja, hati saya antara senang dan sedih. Senang karena katanya –saya belum pernah ke Jogja sebelumnya- lebih banyak tempat yang bisa dieksplore. Sedih karena,,,,,, harus ngitung ulang budget. Secara tiket ke Jogja dari Banjarmasin harga nya di atas tiket ke Semarang, belum lagi penginapan.
Nah, di postingan ini saya pengen bagi2 foto pas liburan yah, jalan-jalannya cuma ke Prambanan aja sih
prambanan jogjakarta
Prambanan dilihat dari jauh nampak sangat asri yah. Taman-tamannya terawat, rumputnya bagus, dan terjaga kebersihannya. Salut buat petugas jaga & kebersihan Prambanan.
prambanan jogja
Sewaktu sekolah dulu, saya tau nya dari pelajaran sejarah, bahwa prambanan ini candi yang gagal jadi? Maksudnya kan ada legendannya, legenda Bandung Bondowoso yang diminta Loro Jonggrang membuatkan seribu candi. Nah, selama berada disana, saya tuw mikir, sejumlah seribu atau mendekati seribu itu candi yang mana aja.
prambanan temple
Apa kepala candi yang bulat-bulat ini dimasukkin hitungan juga? Heheheee…
prambanan
Kalo liat reliefnya, emang kreatif bener ya orang jaman dulu. Bangunan segede itu diukir-ukir, batu. Itu pasti capek mahatnya, di getok-getok pake palu. Bentar, candi setinggi ini gimana nyusun pondasinya ya? Pantas saja kalo terbesut sebuah legenda.
bule prambanan
Ini bule lagi asik moto, kita foto sembunyi-sembunyi yuk..  Em, di Prambanan banyak banget turisnya. Mulai dari yang muda, tua, cakep, super cakep, sampe yang biasa aja. Ada cas-cis-cus in english, bahasa Prancis yang oui, Je, dan suara sengau-sengau keriting gitu, bahasa Belanda yg ikh, jij. Bahkan kemaren ketemu orang -yang kira-kira- india.
Gini deh kalo berkunjung ke tempat wisata tanpa pemandu, jadi gak tau gimana sejarahnya, arti-arti dari keberadaan suatu tempat. Anw, saya gak liat adanya orang yang menawarkan jasa pemandu yang seliweran aka obral (kecuali penjaja payung). Atau mungkin karena tampang kita bukan bule jadi gak ditawarin tour guide ya. Hahaha, kemaren sempat mepet-mepet org yang teriak-teriak nyari anak UI, kali aja bisa nebeng biar tau ceritanya. Tapi yaa secara tampang kucel banget habis menempuh penerbangan pagi, gak ada yg percaya kayaknya. Ya sudahlah. Dan kayaknya asik deh jadi Mahasiswa di Jogja, khususnya Mahasiswa jurusan Bahasa. Kemaren saya liat banyak Mahasiswa yang memakai almamater kampusnya mendampingi bule-bule.
Dan saya secara beruntung punya tour guide sendiri, sekalian penjamin transport saya selama di Jogja hari pertama. Ini dia; Atika Wulandari, Fans sejati Kiki farrel dan admin @farellious

Photo-0475
Thanks Atika Secret telling smile

dan ini ketika makan di mirota pasca kekagagalan dalam pertempuran Sad smile

DSC00982kecil

#30HariLagukuBercerita Rindu Berbahasa Diam

Kehangatan bagi saya, bisa jadi dingin bagi orang lain. Dua puluh delapan tahun berkompromi dengan detik waktu yang selalu berdetak cuek, sikap saling diam dalam waktu lama bukan berarti masalah yang besar bagi saya. Kita hanya tidak saling bicara, bukan tidak saling sayang.
Malam itu, saya duduk di dalam mobil bersama ayah. Mobil kami melaju santai menuju kota sepulang dari bandara, menerobos gelap malam yang tak berlampu jalanan. Beberapa kali saya tengok ayah yang duduk tertidur di samping saya, dia hanya diam. Tak ada obrolan basa-basi, nyanyi-nyanyian tak karuan seperti yang biasa saya lakukan dengan teman-teman saya ketika di dalam mobil. Satu-satunya yang tak diam hanya beberapa penyiar radio dan penyanyi yang saluran radionya selalu saya gonta-ganti. Saya duduk dengan berbagai macam posisi demi mencari kenyamanan suasana duduk di dalam mobil. Dan ayah adalah orang yang paham betul tentang hal ini, dia tidak pernah protes dengan gaya saya ketika mengemudi, selama itu membuat saya nyaman.
Seperti ini lah hubungan kami. Berbicara bukanlah satu hal wajib, lebih baik diam daripada hanya sekedar basa-basi. Sekitar sepuluh tahun yang lalu, saya baru menyadari, mungkin sifat pendiam ini turunan dari ayah. Tidak mau ambil pusing ini juga sepertinya sifat turunan juga. Semakin lama saya perhatikan, hampir 70% diri saya turunan dari ayah. Mungkin karena kami punya golongan darah yang sama dan juga lahir di bulan yang sama.
Sudah lebih satu jam dia tertidur dalam perjalanan ini. Saya tak ingin membangunkannya, hanya ingin membuat dia merasa nyaman dalam tidurnya. Sedikit membiarkan dia menikmati mimpinya, jika dia sedang bermimpi. Karena sekarang saya tak punya banyak waktu untuk memperhatikannya ketika dia sedang tidur seperti sekarang.
Dengkuran pelan ayah memberikan ritme tersendiri dalam perjalanan ini. Saya hanya bisa tersenyum jika mendadak dengkuran itu berganti ritme. Tersenyum untuk setiap protes atas dengkuran itu yang dulu pernah sering saya lemparkan ketika masih TK. Sekarang, saya sudah tidak berdaya lagi untuk protes.
Saat kecil dulu, entah apa yang merasuki saya hingga menomor-duakan ayah setelah ibu. Mungkin karena waktu yang saya habiskan bersama dia tidak sebanyak ibu. Dia bekerja dari pagi hingga kadang malam. Dia sudah pergi ketika saya masih sibuk mandi dengan terburu-buru ketika pagi hari, kemudian baru pulang saat saya sedang mandi dengan santai di sore hari, atau ketika saya sudah tertidur dan entah berkelana dalam mimipi macam apa di malam hari. Dia tidak selembut ibu, namun dia lah yang menggendong saya setiap kali tertidur di depan tipi menonton siaran bola tengah malam. Dia memang bukan tempat mengadu untuk setiap masalah yang saya hadapi, tapi dia lah yang selalu menjadi tameng saya. Dia yang tanpa malu datang ke sekolah ketika saya di hukum guru hanya karena jadi suporter tawuran.
Kini, setelah pertemuan kami bernilai tiga hari dari tiga bulan dan ribuan kilometer, selaput-selaput jarak itu baru terbuka. Pernah ku sesali mengapa perlu waktu sekian tahun untuk menyadari arti dirimu, perlu jarak sejauh ini, perlu pekerjaan se-memusing-kan ini untuk mensyukuri nafkah yang kau berikan dulu. Mungkin ini faktor umur yang sudah mulai menggiring ku pada jiwa lelaki dewasa, yang sudah cukup dewasa untuk merasakan peran menjadi ayah seperti dia nanti. Dan sedikit nasehat dari lagu Ebith G Ade ; titip rindu buat ayah.
*Teruntuk mereka yang rindu dengan ayah/abah/bapak, dan sedang berada ditempat yang jauh. Untuk mereka yang mengecup tangan ayahnya ketika bertemu dan akan berpisah. Sedikit inspirasi dari beberapa orang yang kerinduannya bisa ku tangkap.

#30HariLagukuBercerita Rumpi Cangkir Kopi

Di lantai dasar suatu gedung perkantoran bersama, di suatu kota cukup besar, terdapat sebuah kantin karyawan yang menyediakan kopi-kopi kelas cafĂ©. Banyak pekerja lembur dari berbagai kantor yang doyan menyambangi kantin yang hanya buka dari sore hingga malam ini. Selain rasa kopi yang enak, kantin ini memiliki keunikan tersediri ; para pengunjung bebas memilih cangkir kopi yang ingin dia pakai. Dengan agak sedikit gila, pemilik kantin ini percaya bahwa kenikmatan minum kopi tak hanya berasal dari rasa dan aromanya, tapi juga dari cangkir. Bentuk cangkir yang dapat ditangkap secara visual akan memberikan pengalaman tersendiri dalam menikmatinya. ‘Kamu bisa memilih bentuk, gambar, warna cangkir yang sesuai dengan mood mu,’ begitu kata Elie, sang pemilik kantin, seorang wanita berumur tiga puluhan yang masih betah melajang.
Sekitar pukul 5 sore, seorang perempuan yang mengenakan blezer berwarna apricot dan celana jins hitam memasuki kantin. Tanpa banyak menoleh, kecuali kepada Elie yang mengisyarakatkan minta dilayani, dia langsung menuju sebuah meja dengan dua kursi berhadapan yang terletak paling pojok dan bersebelahan dengan dinding kaca yang menghadap jalan raya. Elie kemudian memberikan kode pada Sisy, hanya dengan lirikan mata Elie ke arah perempuan itu, Sisy langsung mengangguk dan berjalan menghampiri wanita yang nampak duduk dengan pasrah mengaadap ke luar jendela.
“Sore, Mbak. Mau pesan apa?”
“Cappucinno satu dan sepotong brownies ya.”
“Ada lagi?”
Perempuan itu nampak ragu, dia mengusap-ngusap jempolnya ke telunjuk tangan kirinya, seolah-olah dengan begitu dia bisa mendapat jawaban dari pertanyaan singkat Sisy. “Java Latte?” katanya kemudian dengan masih agak ragu.
“Java Latte, Ok. Ada lagi?”
Dia hanya menggeleng.
“Gelas kopinya?”
“Seperti biasa, Elie tau kok. Kalo yang Java Latte, terserah. Kurasa Elie juga sudah tau.”
“Oke,” Sisy langsung berlalu meninggalkan perempuan itu. Sisy merasa bahwa akan lebih baik jika dia meninggalkan perempuan itu seorang diri secepatnya. Dia yang biasanya memesan dengan cerewet, justru tidak secerewet biasanya kali ini, pertanda bahwa perempuan itu tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Sisy menyerahkan secarik kertas catatan pesanan perempuan tadi kepada Elie yang berdiri dari balik meja ramuan kopinya. Elie melirik kertas itu sepintas, hanya untuk meyakini bahwa pesanan perempuan itu tak ubah dari biasanya.
“San, Cappucinno cangkir Elona, Java Latte cangkir Andreas, dan sepotong Brownies coklat,” teriak Elie dengan suara setara tiga oktaf pada Sandra, asisten penyaji kopi yang tak lain adik Elie sendiri.
Sepuluh menit kemudian, pesanan sudah diantarkan ke meja perempuan tadi. Cappucino cangkir berwarna pink dengan gambar hati kecil-kecil yang bertebaran, bernama Elona diletakkan berhadapan dengan Java Latte dalam sebuah cangkir berwarna hitam dengan gambar kunci G, bernama Andreas, dengan brownies sebagai penengahnya. Perempuan itu tak langsung menyentuh salah satu dari mereka bertiga, hanya memandangi kedua cangkir kopi itu secara bergantian.
“Hai, Andreas, coba tebak, apa laki-laki gila itu akan datang sore ini?” Tanpa ada yang tahu di dunia ini, Elona berbicara pada Andreas.
“Entahlah, aku tidak tau siapa yang kau bicarakan. Aku kan cangkir baru di kantin ini. Apa aku pernah dipakai olehnya?”
Elona diam dan berpikir keras, mengingat-ingat siapa saja cangkir pasangannya setiap kali disungguhkan untuk perempuan ini.
“Seingatku belum pernah. Tapi kembaranmu Pelipe yang biasa dihidangkan untuk laki-laki itu. Sayang Pelipe sudah pecah, padahal kami berdua sedang mencoba mencocokkan kedua manusia ini,” gerutu Elona yang menyayangkan pecahnya Pelipe sehari sebelum Andreas datang ke kantin ini.
Sebut saja dunia ini gila, semua cangkir kopi di kantin ini saling berbicara satu sama lain. Mereka saling berinteraksi untuk bertukar cerita, tanpa ada seorang manusia pun yang tau, tidak terkecuali Elie, walaupun dia kadang termenung setiap kali menatapi cangkir-cangkirnya karena merasa seolah-olah cangkir-cangkir tersebut mempunyai jiwa. Oleh semua cangkir, Elie dianggap laksana Ratu. Elie, dengan dia sadari atau tidak, sering berbica kepada cangkir-cangkirnya, seperti berpesan ‘jadilah cangkir yang manis, buat pelanggan-pelangganku menikmati setiap hirupan kopinya.’ Dan sebagai rakyat yang senang dipi,pin oleh Ratu seperti Elie, semua cangkir mematuhi segala perintahnya.
“Memangnya ada apa dengan manusia yang ini?” tanya Andreas ingin tahu.
“Heh, kau ini masih kecil, masih bau kencur, ingin tau saja.” Jawab Elona ketus.
“Dasar kau, nenek tua keriput. Siapa tau aku bisa menggantikan Pelipe untuk membantumu melancarkan rencanamu dulu.”
“Beraninya kau bilang aku keriput. Aku ini nampak tua dan kusam karena aku sudah menjadi cangkir favorit di tempat ini.”
“Jadi, perempuan ini kenapa?”
Elona diam sebentar saat perempuan itu mengangkatnya dan mengirup kopi untuk pertama kali. Hanya seteguk, kemudian langsung meletakkannya kembali ke meja.
“Dia sedang bersedih, dia tidak menikmati kopi ku. Biasanya dia bisa meminum kopi dalam beberapa tegukan saat hirupan pertama. Dia ini perempuan yang malang Andreas.”
“Ya, wajahnya seseram vampir yang putus asa.”
“Tau apa kamu? Dia begini karena laki-laki itu. Dia hanya sedang tidak beruntung. Dengarkan aku agar kau tau ceritanya. Seingatku, beberapa bulan yang lalu dia sering datang ke kantin ini dengan seorang pria. Pria itu tinggi, penampilannya rapi, wangi, tapi dia sangat cerewet. Mereka beberapa kali datang dan minum kopi bersama. Perempuan ini selalu memesan Cappucino, dan gelas yang selalu dipilihnya adalah aku. Sedangkan pria itu tidak selalu memesan kopi yang sama. Tapi dia sangat senang minum dengan cangkir Pelipe, jadi aku dan Pelipe selalu berpasangan. Pria itu jauh lebih cerewet dari perempuan ini. Saat-saat seperti itu dulu, wajah perempuan ini jauh lebih bahagia dari yang kamu lihat sekarang.”
“Memangnya kenapa?”
“Are you blind or stupid? Dasar kau memang anak kecil. Perempuan ini suka dengan pria itu. Tapi dia sedang tidak beruntung. Padahal perempuan ini selalu menunggu pria itu dengan sabar. Setiap kali datang ke kantin ini, pasti pria itu yang datang terlambat. Anehnya justru pria itulah yang paling banyak bicara, dan perempuan sendu selalu siap sedia mendengarkan cerita pria itu. Wajahnya selalu berseri-seri ketika bersama pria itu.”
“Tapi kenapa perempuan ini berwajah muram seperti ini sekarang, Bundo?”
“Heh, jangan panggil aku Bundo. Aku tak setua itu. Pria itu, sudah ada yang punya. Aku dan Pelipe pernah mendengar dia telpon-telponan dengan seseorang yang dia panggil sayang, dan dia berbicara dengan penuh senyum. Kamu tau, kejadian itu terjadi dipertemuan kedua mereka. Andai kau lihat ekspresi perempuan ini kala itu. Wajahnya HAMPA. Namun anehnya setelah kejadian itu mereka masih tetap bersama. Aku heran, aku pikir mereka tidak akan datang bersama lagi. Sampai kapan perempuan ini akan bertahan? Tapi kenapa sampai sekarang pria itu belum datang ya?”
“Kenapa dia bisa suka dengan pria itu kalau dia sudah ada yang punya?”
“Cinta itu datang tanpa bisa memilih. Kalau rasa itu hanya sekedar suka, maka tidak akan bertahan selama ini. Kadang dalam hidup ini, manusia masih bisa menyandarkan harapannya pada keajaiban. Sampai kapan ya perempuan ini akan menunggu?”
“Aku sudah hampir dingin,” gerutu Andreas. “Dan sepertinya aku tidak akan diminum.”
Kedua gelas itu diam. Elona menanti perempuan itu untuk mengangkatnya lagi, meminum beberapa tegukan sampai akhirnya habis atau langsung minum sekaligus sampai tetes terakhir.
“Apa yang bisa kita lakukan, Elona?” tanya Andreas memecah kebisuan diantara mereka berdua.
“Kita ini hanyalah cangkir kopi. Kita hanya bertugas menampung kopi. Kita tidak mempunyai kemapuan untuk membantu takdir seseorang, Andreas. Andai Tuhan memberi pada kita karunia untuk mempengaruhi perasaan orang lain, mungkin kita bisa berkonspirasi untuk menyampaikan rasa suka perempuan ini pada pria itu.”
“Lalu apa rencana mu dan Pelipe dulu?”
“Kami hanya akan membantunya sebatas peran kami sebagai cangkir kopi yang baik. Sebagai cangkir, berikanlah rasa cinta kita pada orang yang meminum kopi dari kita, agar energi positif itu tertular pada mereka.”
“Hey, siapa yang memasang lagu ini dalam plyalist?” Jerit Samantha, cangkir kopi berwarna hijau polos dari meja sebelah?. “Customer ku ini sedang sedih, dia baru saja putus dengan pacarnya!!”
Sayup-sayup terdengar intro lagu orang ke-3 dari HiVi. Elona dan Andreas terdiam. Mereka mengobrol tanpa memperhatikan lagu yang sedang diputar. Di detik terakhir saat lagu tersebut udai, perempuan itu mengangkat Elona, kemudian menghabiskan Cappucinonya dalam sekali tegukan. Dia lalu berdiri dan meninggalkan brownies dan Andreas tanpa menyentuh mereka sedikitpun. Lantas dia pergi meninggalkan kantin seorang diri, seperti hal nya ketika dia datang, sendirian.

#30HariLagukuBercerita Delilah Menjawab…

Kulirik jam dinding yang tergantung di sebelah kanan pintu, jam 10 malam. Nampaknya malam ini aku tidur lebih cepat saja, hari ini tamu-tamu bos ku agak sedikit gila. Bagaimana bisa mereka berkunjung sampai dua kali ke restoran kami? Pusing yang ku rasa sejak sore tadi sampai belum berhenti karena terlalu lelah.
Ku coba menggerakkan tubuh ku. Membengkokkan kepala ke kanan ke kiri, Memutar pinggang kesana- kemari. Sepertinya jika aku melakukan sedikit yoga yang santai, akan bisa melemaskan otot-otot ku. Dengan gerakan gontai, ku gapai laptopku. Si putih sudah beberapa hari ini absen bekerja sebagai ‘black hole’ di skype. Dia tidak menghubungiku karena sibuk dengan thesisnya. Aku tak akan mengaktifkan modem ku di laptop, cukup memainkan lagu yang  akan mengiringi  yoga ku dengan santai. Plain White T’s, band kesukaan kita, Hey there Delilah pernah kau nyanyikan ketika kita bertatap muka di dunia maya, di perbincangan skype yang ke-3. Suaramu jelek.
Hey there Delilah
What's it like in New York City?
‘Hey there Shaantje.. Jangan tanyakan kabar New York padaku. AKu jauh dari keramaian New York. I’m in new city, new life, new people.’
I'm a thousand miles away
But girl, tonight you look so pretty
Yes you do
Times Square can't shine as bright as you
I swear it's true
‘Shaantje… Bukan jarak yang selama ini aku persoalkan, tapi entah berapa kali ulang tahunku, tahun baru, lebaran, anniversary kita, sudah tak pernah kita rayakan bersama lagi. Kita hanya menerka cinta kita lewat skype. Aku melihat senyummu tak lebih dari 2 megapixel, tak tau wangi parfummu, tak pernah bisa mencium segarnya wangi shampomu. Dan aku tak bisa meminta pertanggung jawabanmu atas jerawat-jerawat di wajahku, tempat segala rindu ini bersarang.’

Hey there Delilah
Don't you worry about the distance
I'm right there if you get lonely
Give this song another listen
Close your eyes
Listen to my voice, it's my disguise
I'm by your side
‘Shaantje, ada kalanya jarak menjadi masalah yang membuatku ingin membeli maskapai penerbangan. Adalah ketika aku lelah, lelah hanya bisa mendengar suaramu. Ada beberapa hari yang sangat berat untuk ku lalui sendiri. Hari dimana ku rasa hanya usapan tanganmu di kepala ku sambil berkata sabar secara langsung, menjadi vitamin tersendiri dalam kelelahan ini.’
Oh it's what you do to me
Oh it's what you do to me
Oh it's what you do to me
Oh it's what you do to me
What you do to me
‘Shaantje, apa batin kita saling terkoneksi?’
Hey there Delilah
I know times are getting hard
But just believe me, girl
Someday I'll pay the bills with this guitar
We'll have it good
We'll have the life we knew we would
My word is good
‘Shaantje, doa ku selalu menyertai perjuanganmu. Pernah kah kau mendoakan ku? Kita sama-sama memulai hidup baru di kota yang berbeda. Hidup baru ku ini telah menguras seluruh nyawa dari hari-hari ku. Ingin rasanya ketika malam tiba, menjelang tidur, aku bercerita tentang hari yang telah kulalui padamu yang sedang berbaring disampingku. Tapi nyatanya, kau tak bisa ku lihat, ku raba, bahkan ku terawang.’
Hey there Delilah
I've got so much left to say
If every simple song I wrote to you
Would take your breath away
I'd write it all
Even more in love with me you'd fall
We'd have it all
‘Shaantje, ketika kata sudah tidak bisa mendeskripsikan bahasa rindu, detik jam dinding berbicara jauh lebih kencang. Kita saling diam. Seperti pedagang kacang yang diacuhkan oleh orang-orang yang lewat, aku kamu kacangin.’
Oh it's what you do to me
Oh it's what you do to me
Oh it's what you do to me
Oh it's what you do to me
‘Shaantje, keheningan mulai bicara.’
A thousand miles seems pretty far
But they've got planes and trains and cars
I'd walk to you if I had no other way
Our friends would all make fun of us
and we'll just laugh along because we know
That none of them have felt this way
‘Shaantje, aku tidak pernah mendengar kata bosan terucap dari mulut mu. Tapi sepertinya tawa teman-temanmu jauh lebih menyenangkan untuk didengar dibanding dengan kata ‘I miss you’ dari ku. Penghargaan yang kita emban sebagai Pasangan Jarak Jauh Bahagia yang kita emban hanyalah semu semata. Mungkin rasa ini cuma aku yang rasa, bahwa aku iri ketika kau berbahagia di sana tanpa aku. Kapankah pernah terpikir olehmu untuk datang menemui ku? Tak usah bilang padaku kapan, agar hal ini bisa menjadi kejutan. Kapan? Atau sepertinya kunjungan ke musium lebih terjadwal untuk kau kunjungi ketimbang aku.’
Delilah I can promise you
That by the time we get through
The world will never ever be the same
And you're to blame
‘Shaantje, kau bilang semakin lama kita melewati semua ini, kita akan semakin kuat. Namun mendadak aku tersambar akan satu hal. Selama ini, aku melewati semua ini, sendirian. Tak ada tangan tempat aku berpegangan, tak ada bahu tempat aku bersandar.’
Hey there Delilah
You be good and don't you miss me
Two more years and you'll be done with school
And I'll be making history like I do
You'll know it's all because of you
We can do whatever we want to
Hey there Delilah here's to you
This one's for you
‘Shaantje, mari kita pikirkan ini sekali lagi. Atau lebih tepatnya, biarkan aku berpikir sekali lagi.’
Oh it's what you do to me
Oh it's what you do to me
Oh it's what you do to me
Oh it's what you do to me
What you do to me.
Hening, lagu itu berhenti berputar. Yoga ku telah selesai. Anehnya hari ini tak ada butiran keringat yang bercucuran dari pelipisku, atau bahkan bagian tubuh manapun. Nampaknya kedinginan hati ini sudah membeku ke dalam lapisan kulit. Atau kah ini berarti tak ada kelelahan jika tak usah mempertahankan cinta ini?
Sedang apa kau saat ini? Hari ini Jumat kan? Mungkin saat ini, di sana, kau sedang duduk dalam ruang kuliahmu. Atau kau sedang di perpustakaan. Atau kau sedang berjalan-jalan menikmati indahnya taman Kekunhof, ini musim semi mu terakhir di sana kan?

#30HariLaguKuBercerita Kira-kira di Masa Depan. . .

Selembar tiket penerbangan ke Banjarmasin ku tatap dengan penuh haru. Akhirnya, hari indah tersebut datang juga untuk memanggilku pulang ke kota tempat aku dibesarkan. Tiga bulan yang lalu kabar tentang kepastian tanggal pernikahan sahabatku ku terima via telpon. Di ruang tunggu bandara, tiket itu ku timang-timang layaknya bayiku yang baru akan lahir empat bulan lagi.
Perjuanganku untuk pulang kali ini tidak gampang. Aku masih ingat bagaimana memelasnya wajah suami ku ketika aku memutuskan pulang seminggu lebih awal dari rencana cutinya.
“Pulangnya nanti aja lah, Mah, minggu depan bareng sama papa. Kamu itu lagi hamil, nanti kalo kenapa-kenapa dijalan, sendirian, gimana?”
“Papa gak usah khawatir. Kan kemaren-kemaren aku juga udah cek ke dokter kan, aku sehat-sehat aja kan, masih boleh naik pesawat. Jadi tenang aja. Gak apa-apa kan kalo mama pulang duluan?”
“Gak bisa ya, kalo kamu datangnya pas acara resepsinya aja? Biar nanti kita pulang bareng-bareng pas aku cuti.”
“Kurang afdol pa, kan yang sakral itu acara pernikahan pas ijab qabulnya. Masa mama gak datang? Mama sama dia udah ngelewati banyak hal bareng. Mulai dari kisah cinta jaman unyu-unyu sampe kisah cinta yang berair mata. Dan mama udah janji sama dia.”
Aku ingat betul ekspresinya saat itu. Wajahnya pasrah, separuh dari dirinya melarangku pergi. Matanya tertunduk menatap perut buncit ku, dia duduk terdiam di hadapanku. Aku tau, ada sedikit marah yang dia pendam namun tak bisa dia ungkapkan. Ku harap kau benar-benar bersedia mengerti tentang arti persahabatan sesama wanita.
Dan di dalam badan burung besi ini lah kini aku terbang membelah langit pagi hari menuju Banjarmasin.
***
Minggu pagi. Dia duduk dengan anggun dihadapanku. Susah payah aku mencoba mengingat-ingat siapa artis yang layak di-mirip-kan wajahnya dengan dia, tapi aku tak menemukan siapapun. Dia mengenakan gaun berwarna putih, senada dengan tema dekor ruangan yang didominasi warna putih. Ku perhatikan sejenak wajahnya. Semburat kebahagian terpancar dari kedua matanya. Tunggu sebentar, sepasang mata itu mengenakan lensa berwarna abu-abu. Ini untuk pertama kalinya aku melihat dia mengenakan lensa berwarna selain bening.
Hingga kemudian acara pun dimulai. Seperti ada kekuatan magis yang masuk ke dalam kamar tempat kami dan mempelai wanita berkumpul, kami semua terdiam dalam senyap yang khusyuk. Hanya hembusan nafas yang kami izinkan untuk bersuara, sisanya terfokus mendengarkan prosesi ijab qabul. Dan yang kemudian terdengar adalah riuh kata ‘SAH’dan ‘Barakallah’, dan sahabatku ini telah sah menjadi istri dari seorang pria.
Ingin rasanya aku menitikkan air mata. Air mata haru bahagia atas segala apa yang telah dia lewati. Aku hanya menjadi saksi dari sedikit kisah hidupmu. Umur persahabatan kita mungkin masih muda, tapi petualangan bersama yang kita lalui mampu hinggap dalam memori ku yang terdalam. Ingat bagaimana kau bergandengan sambil tersenyum dengan pacarmu kala itu, bimbang karena tak dapat restu, galau karena lamaran yang ‘aya-aya wae’, LDR yang memusingkan, saling mention-mentionan artikel di twitter. Aku bersyukur atas jodoh yang Tuhan berikan padamu. Setidaknya pria ini adalah yang paling mampu bertahan dalam bully-an ku. Aku hanya bisa tersenyum dengan perasaan bersalah mengingat bagaimana dahulu menarik ulur support untuk setiap hubunganmu.
Ku raih handphone dari dalam tas ku, dengan sedikit iseng “Selamat ya, Bee. Akhirnya Tuhan sudah membuka misteri jodohmu bersamanya.”

*NOWPLAYING SHEILA ON 7 – SAHABAT SEJATI