Chapter 8 : Si Merah yang Mengamuk
Jalan di sekitar kawasan tempat tinggalku tiba-tiba saja ramai pagi itu. Banyak orang yang mondar-mandir di pinggir jalan, bahkan ada yang berlarian ke sana-ke mari dengan masih mengenakan pakaian tidur mereka. Samar-samar aku mendengar suara serine mobil pemadam kebakaran. Aku celingak-celinguk mencoba mencari asal kejadian. Sekitar seratus
“Aduh, El, rumah kita gimana, ya?” Tanya Dian denagn nada yang tak terkontrol, penuh kekhawatiran.
Lama-kelamaan semakin banyak orang yang berkerumun di jalan. Dian tidak bisa lagi mempercepat laju motor.
“El, kamu turun, El. Coba lihat apa rumah kita kena,” suruh Dian.
Aku segara turun dari motor dan berjalan secepat aku bias menembus kerumunan orang di jalanan. Beberapa kali aku menabrak orang-orang yang mengahangi jalanku. Mendorong mereka ke pinggir, meneriaki mereka dengan kata ‘permisi’ atau ‘minggir’, dan aku bahkan tidak memperdulikan kakiku yang menginjak kaki orang lain.
Jantungku memang tidak meledak, aku memang masih hidup dan sadarkan diri, namun seluruh darah di sekujur tubuhku terasa mendidih. Ini bukan jarena panasnya api yang berasal dari kebakaran tersebut, melainkan karena rasa kaget bercampur panik dan takut yang aku rasakan saat melihat rumah di depanku berdiri saat ini seluruhnya dilahap oleh si jago merah.
“Ya Allah….” Aku tidak dapat berkata apa-apa lagi, suaraku tersedak oleh tangis yang mendesak keluar.
Dian tiba-tiba muncul di sampingku dan langsung memelukku. Kami tak bias berbuat apa-apa dan hanya bisa menangis. Seluruh harta benda kami, kecuali si Putih motor matic ku, ada di dalam rumah yang terbakar itu. Sekarang kami hanya memiliki diri kami bersama pakaian yang melekat di tubuh kami. Beruntung Dian membawa handphonenya saat pergi tadi, sedangkan aku tidak.
Di pagi buta ini, entah nasib sial macam apa yang menimpa kami, semuanya serba tak jelas. Cukup kami tertipu dengan berita tentang om Yuda, dan kini tanpa tahu apa-apa rumah kami terbakar beserta seluruh isinya.
*****
0 Komentar:
Post a Comment