Empat jam terdekam mengerjakan psikotest dalam ruangan pengap dengan AC yang ku terka mungkin keluaran negri Panda, sukses membuatku berhalusinasi. Sekeluarnya dari gedung tempat berlangsungnya tes itu, ku hipnotis diriku sendiri bahwa aku berada di surga. Air mancur yang mengucur di depan gedung ini adalah telaga Salsabil, rumput yang terpotong rapi jadi semacam refleksi permadani surga, dan perempuan yang duduk bangku taman itu mungkin adalah bidadari. Ah, ternyata dia Bertha, teman ku yang sudi menungguiku ikut tes ini dan lebih memilih bolos kuliah.
“Gimana?” tanya Bertha sambil tersenyum ketika aku tinggal tiga langkah lagi ke arahnya.
“Nooooooo….” jawabku singkat dengan O yang panjang.
“Gak papa, Say, mungkin ini bukan yang terbaik buat kamu.”
‘Please, Berth, gue udah tau itu sebelum lu kasih tau’, gumamku dalam hati. Ya, sebatas dalam hati, karena gak mungkin menodai senyum Bertha dengan kecemberutan karena kata-kata judes ku itu.
“Kita jalan-jalan aja yuk, Say, refreshing. Kamu mau kemana?”
Aku hanya mengangkat bahu. Baru sekitar 30 jam di Jogja hanya cukup membuatku mengenal kawasan Malioboro dan Jalan Dagen, tempat ku menginap.
“Terserah, Bert. Yang penting bisa jalan-jalan sekalian cuci mata.”
“Kita ke Amplas aja yuk, dekat kok dari sini, jalan kaki juga bisa.”
Kali ini mungkin Bertha yang menghipnotis ku. Aku menuruti saja ajakannya jalan kaki menuju Amplas dan memasrahkan diri berjalan kaki di bawah teriknya matahari.
Kami keluar meninggalkan gedung tempat tes ku tadi berlangsung. Aku dan Bertha berjalan berdampingan sambil mengobrol dan menunduk-nunduk menahan panas dan juga malu. Bingung arah, Bertha menoleh kanan kiri, menebak-nebak sendiri kemana arah menuju Amplas. Tak jauh dari tempat kami berdiri, seorang pria berkacamata berkemeja coklat muda juga nampak celingak-celinguk. Ku toleh dia, dan hanya butuh satu detik untuk ku menyadari bahwa dia tadi juga mengikuti tes yang sama denganku, pria ini duduk dua meja di depanku. Dia melangkahkan sebelah kaki nya menuruni trotoar.
“Nyeberang aja yuk,” usul Bertha tiba-tiba.
Dan kami bertiga pun berjalan beriringan membelah kemacetan di jalan Urip Sumardjo. Kemacetan yang sama sekali asing bagiku, dengan orang-orang asing yang ku potong jalannya, bangunan-bangunan asing di sepanjang jalan, dan seorang pria asing yang berjalan satu meter di depanku. Setelah menyebarangi jalan dia berbelok ke kanan, begitu juga dengan Bertha. Aku yang buta arah hanya mengikuti mereka saja.
Ku perhatikan pria asing itu dari belakang. Badannya tinggi, kurus, dengan pundak yang tidak terlalu lebar. Ku terka umurnya tak jauh beda denganku, mungkin sekitar 23 sampai 25 tahun. Sepintas kuperhatikan wajahnya ketika di ruangan tadi, rautnya nampak lebih tua dari umurnya. Bisa jadi karena dahi nya yang lebar menambah kesan dewasa yang terlalu cepat menghampiri umurnya. Dari cara dia berpakaian, nampak bahwa pria ini memberi kesan mapan. Dia pandai memilih kemeja dan celana yang pas dengan bentuk tubuhnya. Sepatu? Aku langsung menundukkan kepala ke arah sepatunya ketika teringat penilaian standarku terhadap sepatu pria. Andai ini audisi, pria ini lolos ke tahap kualifikasi selanjutnya. Sepatu pantofel dengan hak rendah berayun gagah mengikuti goyangan kaki si pemakai, ukurannya tak jauh beda denganku.
Entah sudah berapa jauh kami berjalan. Aku bingung kenapa Bertha terus membawa ku berjalan kaki, tanpa berinisiatif mengajakku naik becak atau memanggil taksi saja dan langsung minta diantar menuju Amplas. Tapi hal itu tak menjadi masalah bagiku lagi ketika Bertha naik ke dalam Halte Trans Jogja. Setelah menunggu sekitar dua menit, Bus pun datang. Aku dan Bertha masuk beriringan, dan pria itu pun berdiri tepat di belakangku ketika masuk.
Di dalam, aku dan Bertha duduk bersampingan, sedangkan pria itu duduk di seberangku. Semenjak di gedung tadi hingga saat ini, tak sekalipun pria itu menegurku. Mungkin dia sama sekali tidak menyadari bahwa kami baru saja mengikuti test psikotest beasiswa yang sama, dan sama-sama tidak lulus.
“Say, cowok yang pakai baju coklat ini tadi ikut tes yang sama dengan kamu kan?” tanya Bertha setengah berbisik.
“Iya,” jawabku sambil mengangguk pelan.
Kulirik dia, mencuri-curi dari sudut mataku, mengawasi geriknya yang mungkin saja merasa bahwa sedang jadi bahan obrolah di antara kami. Ternyata dia sama sekali tidak peduli dengan keadaan di sekitar, nampak asik dengan BB dalam genggamannya.
“Cakep, ya, Say.”
Aku terkejut mendengar ucapan Betha barusan. Tak kusangka dia juga memperhatikan pria ini.
“Mas,”
Aku terkejut, walaupun sudah terbiasa dengan hal yang akan terjadi ini, Bertha mulai mengeluarkan jurusnya.
“Kamu tadi juga ikut tes bareng dia, kan?”
Bertha menunjuk ke arah ku. Seketika aku kikuk. Aku tak biasa beramah-tamah atau pun sok akrab dengan orang asing. Namun ternyata pria itu mengangguk. Aku bisa bernafas lega dan bisa memusut dada. Tapi memusut dada enggan kulakukan saat ini, hanya tak ingin dia tahu aku sempat tegang berhadapan dengannya.
“Mau kemana?” tanya Bertha nampak lancar dengan aksinya.
“Pulang.”
“Pulang kemana?”
“Ke rumah, dekat Bandara.”
“Oh, dekat sana. Eh, kamu tau gak tempat yang jual oleh-oleh dekat bandara? Tapi yang murah. Temanku ini dari Banjarmasin, dia mau bawa oleh-oleh tapi biar gak repot sekalian aja belinya dekat Bandara.”
Aku hanya tersenyum, mendukung semua akting yang dilancarkan Bertha. Aku yang menginap di Malioboro, pusat oleh-oleh, sama sekali tak berniat berbelanja oleh-oleh seperti apa yang dikatakan Bertha.
“Ada sih, Mbak, toko di dekat bandara yang menjual aneka souvenir.”
“Oh, ya. Di daerah mana?”
Kedua orang ini kemudian terlibat pembicaraan mengenai alamat yang sama sekali tidak ku tau. Entah jalan apa yang mereka perbincangkan. Pria itu mencoba menggambarkan peta jalan di udara. Tangannya melukis garis transparan yang tak ku mengerti.
“Gak mudeng aku, mas. Bisa minta no.Hp mu? atau pin aja deh. Biar nanti kalau bingung aku bisa langsung nanya kamu aja.”
Nampaknya Bertha sukses 100% dengan misi nya. Mereka berdua lalu bertukar no.Hp dan pin BB. Aku hanya diam melihat mereka berdua. Ku tatap Bertha, gadis ini selalu berhasil dengan trik nya berkenalan dengan laki-laki. Untungnya tak perlu waktu lama berada dalam situasi canggung ini. Bus ini berhenti di suatu halte dan Bertha pun mengajakku turun. Berdua kami turun meninggalkan pria itu. Sepintas dari pembicaraan mereka tadi, kudengar dia bernama Abdi
“Kapan lagi, Say, bisa ketemu dia. Aku di sini kan cuma tinggal sebulan lagi, say. Kenapa tadi aku gak bilang ‘So call me, maybe? ya,” Kata Bertha ketika kami akhirnya menapakkan kaki di lobi Amplas.
“Terserah kamu lah, Berth.” Komentarku singkat.
Ku ingat-ingat, tak sekalipun pria itu melirikku ketika di dalam bus tadi, kecuali ketika Bertha mengatakan bahwa aku ingin mencari oleh-oleh di dekat Bandara. Aku pun juga tak menyapa dia duluan. Apakah dia merasa bahwa sedang aku perhatikan? Apakah dia takut jika ku perhatikan seperti tadi? Sayangnya kami tidak sempat berkenalan. Dan mungkin dia hanya mengenalku sebatas Say. Sayang? Sayur? Say, Sayonara? Atau mungkin sempat terpikir olehnya bahwa aku adalah pacar Bertha.