Chapter 14 : Cantik…

Aku manarik nafas dalam-dalam saat keluar ruangan. Kuliah hari ini akhirnya selesai dengan segala kekacauan yang mewarnai pagiku. Pagi tadi aku terlambat dan basah kuyup gara-gara hujan. Selama beberapa detik aku menyalahkan kedatanganku pagi ini. Kenapa aku tidak masuk kuliah saja? Hari ini kan masih dapat dihitung sebagai hari berkabung mengingat kemarin pagi rumah kontrakkan kami terbakar.

“Hei…”

Aku kaget saat seseorang menepuk pundakku daribelakang. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba saja merinding karenanya. Aku langsung menoleh ke belakang. Sayangnya orang yang menepuk pundakku itu jauh lebih tinggi daripada aku, sehingga aku harus mendongak untuk melihat wajahnya. Mendongak berarti melihat ke atas, dan itu butuh tenaga. Aku pasti akan terlihat bodoh kalau mendongak terlalu tinggi. Aku lalu memilih untuk menoleh ke belakang tanpa harus mendongak.

Ku lihat orang di belakangku itu memakai T-shirt berwarna hitam yang dipasangkan dengan celana jins butut. Dia memakai sepatu Converse dengan motif tambalan. Orang yang kukenal yang seperti itu cuma Ale. Dan celana jins butut itu membuat dia mendapat julukan sebagai Mr. Butut. Aku berani taruhan harga jins itu saat dibeli dulu cukup mahal, makanya Ale sangat saying dengan celana itu dan masih suka dia pakai walau warnanya sidah mendekati putih. Dia adalah orang yang rela menabung untuk membeli barang yang dia sukai.

Sebenarnya tidak banyak hal menarik yang dapat kuceritakan tentang Ale. Wajah maupun gayanya belum mampu membuat dia untuk pantas menyandang gelar ‘Prom Prince’ sekalipun. Jadi aku tidak pernah memuji secuil ketampanan yang dia miliki. Kulitnya putih, rambutnya hitam dengan gaya awut-awutan, alisnya cukup lebat, matanya OK, dan dagunya khas dagu lelaki, hampir menempel dengan leher. Namun dari semua itu, wajahnya sedikit terganggu degan jerawat-jerawat kecil yang mengiasi jidatnya. Dia bukan mahasiswa dengan segudang prestasi, juga bukan mahasiswa pengangguran yang tanpa kegiatan. Dia sering ikut kegiatan di semacam event organizer, kadang juga dengan sukarela menjadi volunteer. Walau begitu, dia adalah salah satu teman baikku yang sama-sama stress. Sudah sekitar dua tahun lebih aku mengenalnya dengan baik dan aku merasa cukup nyaman berteman dengan orang macam dia walaupun dia bukan tidak terlalu dapat diandalkan saat final test.

“Aku kira kamu bakal nggak masuk hari ini, El.”

“Maunya sih nggak masuk. Aku juga berencana pengen liat-liat bakal rumah kontrakkan yang baru, Le.”

“Udah dapat rumah kontrakkan baru? Cepet banget! Di mana?”

“Dekat sama rumah yang lama, kok. Malah dekat sama rumah teman aku. Ya… kamu tau lah siapa yang aku maksud.”

“Si ‘Dia’? yang jahat itu kan.”

“Ya terserah kamu lah mau bilang dia itu apa. Tapi kan enak kalau nanti aku jadi tinggal di sana, jadi aku sudah langsung punya kenalan.”

“Iya juga sih. Jadi berapa hari ini kamu tinggal di mana?”

“Di rumah Intan, teman mbak Dian.”

“Enak tinggal di sana?”

“Nggak puas mandi. Air ledeng daerah sana sering macet.”

“Lu kata jalan raya.”

Aku langsung tersenyum dengan sedikit tertawa mendengar ucapan Ale barusan. Aku mungkin akan hidup bahagia seumur hidup kalau setiap detik dalam hidupku dapat tertawa seperti ini.

“Lapar nih, Chuy. Ke kantin, El.”

Aku berjalan di belakang mengikuti Ale menuju kantin yang letaknya ada di halaman samping kampus. Sepanjang perjalanan hampir semua orang yang berpapasan dengan kami menatapku dengan berbagai ekspresi. Sudah kuduga akan seperti ini keadaannya. Masing-masing di antara mereka mungkin berpikiran seperti ini, ‘ini ya, Elsie Gunawan. Kasihan ya rumahnya terbakar.’

Aku bersyukur dengan setulus hati ketika sudah sampai di kantin, dan lebih bersyukur lagi karena kantin sepi saat itu. Ale memilih tempat duduk di meja yang tepat berada di bawah kipas angin yang menggantung di langit-langit kantin. Dia lalu memesan makanan kesukaannya, sate, jumlahnya sepuluh tusuk lengkap dengan ketupatnya. Aku belum merasa lapar, yang aku pesan hanya segelas jus alpukat dan berharap semoga bisa menambah berat badanku.

Belum genap lima menit aku berada di kantin dengan suasana tenang, tiba-tiba masuk serombongan perempuan yang sudah tidak asing bagiku. Mereka berjumlah enam orang. Semuanya berbadan proporsional dengan rambut panjang terurai, dua di antara mereka berambut disemir coklat dan satu lainnya disemir merah. Di tengah rombongan ada Bella yang berambut hitam lurus. Mereka duduk tak jauh dari kami. Dari tempatku duduk, aku berhadapan dengan Bella yang duduk tepat menghadap ke arahku. Sejenak dia memandangku dan kemudian kembali memalingkan mukanya kepada teman-temannya.

Seumur hidup, baru kali ini aku berhadapan dengan Bella sampai dapat melihat wajahnya dengan sangat jelas. Wajahnya bagai terbentuk dari tulang wajah yang dipahat dengan keras sehingga membentuk dengan jelas sruktur wajahnya. Matanya dalam dan berwarna coklat cerah. Kulitnya putih bersih dengan kulit wajah yang putih berseri. Tak ada satu hal pun yang dapat dicela dari fisiknya, semuanya serba sempurna. Bukan sesuatu yang mengherankan mengenai kesempurnaanya itu, dia punya apapun yang dibutuhkan untuk menjadi cantik, terlebih uang.

0 Komentar:

Post a Comment