Chapter 9 : Yang Pergi Datang Kembali
subuh berlalu diiringi pagi yang datang tanpa sinar matahari. Api sudah tak berkobar lagi, petugas pemadam kebakaran telah berhasil memadamkannya setelah berkutat selama hampir setengah jam lamanya. Petugas pemadam kebakaran telah bekerja dngan baik. Hanya dua bangunan yang terbakar, yaitu rumah yang kami aku tinggali dan sebuah toko ponsel yang terletak di samping rumah kontrakkanku. Menurut cerita Pak Ahmad yang tinggal di seberang rumahku, api berasal dari toko ponsel itu, dugaan sementara karena arus pendek. Toko ponsel itu sendiri tak pernah buka lagi sejak seminggu yang lalu.
Aku masuk ke dalam rumahku yang kini dihiasi puing-puing kebakaran. Semuanya tampak hitam dan gosong. Dinding-dinding rumahku yang semula berwarna putih tulang kini lebih mirip seperti dinding yang bercat arang. Semuanya hancur berantakkan, benar-benar tak ada barang yang dapat diselamatkan. Pak Ahmad bilang, api menjalar dengan cepat dan tak ada seorang pun yang berani mendekati rumah kami hanya untuk menyelamatka satu atau dua barang kami, melainkan mereka hanya berpikir bagaimana api itu agar tidak menjalar ke rumah yang lain.
Aku berjalan ke ruang tengah. Di sana, televisi dan komputer juga ikut terbakar, padahal Dian sudah menyiapkan naskah beritanya di dalam komputer itu. Aku mengalihkan pandanganku ke dinding pemisah antara ruang tengah dan ruang tamu. Tak ada lagi lukisan yang sempat membuatku ngeri untuk melihatnya tadi malam. Jauh di libuk hatiku, aku sebenarnya mengagumi lukisan itu, hanya saja terkadang aku ngeri saat memperhatikannya karena terasa sangat hidup.
“ELSIE !!!”
Terdengar sebuah suara laki-laki yang berteriak memanggil namaku dari luar rumah. Entah kenapa aku langsung saja pergi ke luar rumah untuk mencari tahu siapa yang memanggil ku. Tak perlu repot-repot ke luar rumah, baru sampai aku di ruang tamu aku sudah dapat mengetahui siapa yang memanggil ku. Ada seorang laki-laki yangmasuk ke ruang tamu. Aku tersenyum dan langsung mengenalinya. Dia teman lamaku, teman baikku dulu dulu yang udah beberapa tahun belakangan ini tidak pernah berjumpa dengan ku lagi. Aku mengeluarkan aekspresi jengkel saat melihatnya. Kenapa dia baru menemui ku di saat seperti ini? Tapi sebenarnya hatiku bahagia dapat melihatnya lagi.
“Hai, El!”dia menyapa ku duluan saat aku membalikkan badan hndak kembali melanjutkan penelusuran ku di setiap ruang yang masih dapat dijamah. Dia lalu mengikuti ku dari belakang.
“Kapan kamu balik?”tanyaku sambil berjalan menuju dapur.
“Dua hari yang lalu,” jawabnya singkat.
Aku sedikit kecewa mendengar jawabannya. Apa tak pernah terbesit dalam pikirannya untuk mengunjungi ku sebelum kejadiaan ini.
“El, rumah kamu kok bias kebakar kaya gini, sih?”
“Katanya sih karena arus pendek di toko ponsel sebelah. Kamu kok bias ke sini?”
“Aku baca di koran, Rumah Dian Gunawan Ludes Terbakar. Makanya aku langsung ke sini buat ngecek berita itu.”
“Masuk koran?” aku kaget. Aku benar-benar tak menyangka kejadian ini akan masuk koran.
“He eh. Dian apa kabar, sih? Dia hot banget, ya?”
Aku tak menjawab apa-apa selain mengangkat kedua alisku yang berarti, iya.
“Magister kamu gimana?” tanayaku mengalihkan pembicaraan.
Sejenak dia terdiam, tak menjawab pertanyaanku. Tapi dapat ku lihat , kedua ujung bibirnya tertarik dengan rileks dan dia tersenyum. Kepalanya lalu menunduk ke bawah, memandangi lantai yang kotor oleh abu kebakaran yang becek, kemudian kembali mendongak dan memandang ke sana-ke mari tak karuan. Lama tak bertemu ternyata dia tidak berubah sama sekali. Mungkin ini yang namanya sikap asli, dia selalu tersenyum sendiri bila ditanya hal-hal tentang dirinya.
“Kalau semuanya lancar, Cuma tinggal satu semester lagi. Makanya,doain.”
Aku rasa inilah saatnya mengeluarkan uneg-unegku padanya.
“Kenapa baru sekarang kamu ke sini? Kamu belum lupa sama teman lama kan.’
“Yah, nggak sempat, El. Kalau balik ke sini bawaannya Cuma pengen istirahat. Kangen rumah, kangen keluarga, kangen teman-teman juga.”
“Tapi kamu nggak pernah ke sini kan, yee….”
“Tapi kamu baik-baik aja kan. Zaman sekarang gitu, El, komunikasi nggak sesusah dulu. Kalau ada apa-apa kan masih bias nelpon, SMS, nge-blog.”
“Kalau rumahku nggak kebakaran, apa kamu bakal ke sini?”
“Elsie….” Cukup di situ, dia tak mlanjutkan kata-katanya lagi.
Mungkin tak seharusnya aku mengajukan pertanyaann seperti itu. Yapi semenjak kepergiaannya dan kami tidak pernah berjumpa lagi saat itu, semua hal yang terjadi dulu terasa salah bagiku. Salah karena tak mengucapkan salam oerpisahan. Salah karena tidak saling tegur duluan. Salah karena karena terlalu menyenangkan berteman dengan orang seperti dia. Salah karena mengenalnya. Dan semua kesalahan itu membuat aku merindukannya. Setiap hari yang aku jalani sendiri tanpa dia terasa seperti hari yang tanpa angin. Angin yang membuatku merasa sejuk, sampai lupa bahwa matahari yang bersinar telah berganti bulan. Angin yang membuat rambutku berantakkan sehingga aku harus merapikannya. Sifatnya yang terkadang menjengkelkan, seringkali menarik perhatianku. Selama ketidak berjumpaan kami, yan berarti tidak ada yang perlu aku perhatiakan, membuatku merasa seperti pengangguran. Gaya dia tertawa yang membuatku jadi ikut-ikutan tartawa, ya, itulah kesalahan terbesar dia padaku.
*****

0 Komentar:

Post a Comment