Chapter 15 : Yang Tak Pernah Aku Pinta

DUKK.

Ale menendang kakiku di bawah meja. Dia memperingatkanku untuk berhenti menatap Bella secara berlebihan seperti itu. Aku kemudian membuang mukaku dan lebih memilih untuk memandangi pemandangan gedung kampus dari kantin. Hatiku terasa terbakar saat melihat wajah Bella, sekalipun hanya salah satu dari bagian tubuhnya saja.

Tak lama setelah itu pesanan kami datang. Ale segera menyantap makanannya dan aku langsung mencoba mengabiskan minumanku secepat mungkin. Aku ingin sesegera mungkin pergi dari sini. Ini pertama kali aku benar-benar ingin minggat dari lingkungan kampus.

Sementara itu Bella dan teman-temannya terus menerus mengoceh membicarakan sesuau. Sepintas yang aku dengar mereka membicarakan tentang sebuah butik yang sedang sale besar-besaran dan mereka berencana ke sana. Telingaku terasa gatal mendengarkan pembicaraan mereka. Tiba-tiba aku teringat apa yang diajarkan Dian padaku. Sebenarnya ini bukan ajaran yang baik, tapi kadang berguna. Dian mengajarkan aku untuk mendengarkan dengan baik pembicaraan orang yang ada di sekitarku, singkat kata ‘menguping pembicaraan orang lain’. Setiap orang yang berbicara nyaring berarti membiarkan orang lain mengetahui apa yang dia bicarakan. Sedangkan orang yang tak ingin orang lain tau apa yang dia bicarakan sudah pasti akan membicarakannya dengan suara sepelan mungkin. Jadi tak ada salahnya menguping pembicaraan orang kalau dia berbicara dengan keras.

“Aku bakal beli baju yang dipajang di manekin etalase butik itu. Pasti keren,” kata Bella sambil tersenyum.

“Pasti mahal, deh, kan barang baru,” sahut temannya yang berambut merah yang saat itu duduk berhadapan dengan Bella.

Senyum Bella semakin merekah lebar. Sejenak dia melirik ke arahku, namun aku pura-pura tidak menyadarinya.

“Nggak masalah. Yang penting barangnya bagus. Ntar kita borong barang yang sale deh.”

“Tumben…,” kata satu temannya yang duduk di sebelah kanannya.

“Lagi happy aja.”

Aku berpikir keras. Mungkinkah ini ada hubungannya dengan kejadian yang menimpa aku dan Dian. Dia sangat bodoh kalau memang benar begitu, karena dia gampang sekali membuat aku curiga.

“Happy kenapa, sih? Nggak bagi-bagi cerita deeh.”

Bella hanya tersenyum mendengar pertanyaan temannya itu. Dia melirik ke arahku sambil terus tersenyum dengan bahagianya. Bibirnya yang merah semakin merekah dan pipinya tertarik dengan kencang. Cantik, cantik, cantik.

Aku bersumpah aku membenci dia dengan sepenuh hatiku mulai dari saat ini.

Perasaan ini mungkin terlalu berlebihan, tapi ini lah yang aku rasakan di dalam hatiku. Kalau sampai kejadian yang terjadi tempo hari di kontrakkan ku karena ulahnya, aku tidak akan mencari-cari alasan lain untuk membalas perbuatannya.

Tanpa aku sadari Ale sudah menghabiskan makanannya. Piring dihadapannya tersapu bersih dari lontong dan sambal sate, begitu juga dengan satenya. Gelas berisi air teh es juga kosong melompong dengan hanya menyisakan es batu yang mencair. Tapi selahap apapun dia makan, keadaan meja di situ tetap bersih dan rapi, tak ada butir-butir nasi lontong yang berhamburan di sana. Aku hanya tersenyum saat melihatnya. Aku bangga mempunyai teman seperti dia, meskipun agak berantakan, tapi dia nggak malu-maluin di tempat umum.

“Satu batang dulu, ya , Di,” pinta Ale sambil mengeluarkan sebatang rokok dari sakunya.

Dia lalu menyalakan api dan membakar ujung rokoknya. Sebatang rokok harga menengah dengan rasa menthol alami. Asap-asap yang mengepul mulai keluar dari mulutnya. Beberapa diantaranya dia keluarkan dengan bentuk bulat-bulat. Sekitar lima belas menit dia merokok seperti itu sampai akhirnya dia menjatuhkan rokok itu kelantai dan menginjaknya sampai hancur. Ini sudah jadi kebiasaanya satiap kali selesai merokok. Katanya ini merupakan bentuk sumpah serapahnya terhadap rokok yang sudah merusak organ dalam tubuhnya. Dia sangat tahu akibat buruk yang ditimbulkan rokok, namu dia mengalami ketergantungan yang membuatnya tidak bisa melepas kebiasaan merokok sejak kelas tiga SMP.

Aku merasa lega saat Ale berhenti merokok saat itu. Aku bisa bernafas dengan lega dan menghirup udara segar lagi. Dan aku lebih lega lagi saat kami berdua pergi meninggalkan kantin. Aku tak perlu harus mendengar suara dan melihat wajah Bella tanpa aku minta.

Chapter 14 : Cantik…

Aku manarik nafas dalam-dalam saat keluar ruangan. Kuliah hari ini akhirnya selesai dengan segala kekacauan yang mewarnai pagiku. Pagi tadi aku terlambat dan basah kuyup gara-gara hujan. Selama beberapa detik aku menyalahkan kedatanganku pagi ini. Kenapa aku tidak masuk kuliah saja? Hari ini kan masih dapat dihitung sebagai hari berkabung mengingat kemarin pagi rumah kontrakkan kami terbakar.

“Hei…”

Aku kaget saat seseorang menepuk pundakku daribelakang. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba saja merinding karenanya. Aku langsung menoleh ke belakang. Sayangnya orang yang menepuk pundakku itu jauh lebih tinggi daripada aku, sehingga aku harus mendongak untuk melihat wajahnya. Mendongak berarti melihat ke atas, dan itu butuh tenaga. Aku pasti akan terlihat bodoh kalau mendongak terlalu tinggi. Aku lalu memilih untuk menoleh ke belakang tanpa harus mendongak.

Ku lihat orang di belakangku itu memakai T-shirt berwarna hitam yang dipasangkan dengan celana jins butut. Dia memakai sepatu Converse dengan motif tambalan. Orang yang kukenal yang seperti itu cuma Ale. Dan celana jins butut itu membuat dia mendapat julukan sebagai Mr. Butut. Aku berani taruhan harga jins itu saat dibeli dulu cukup mahal, makanya Ale sangat saying dengan celana itu dan masih suka dia pakai walau warnanya sidah mendekati putih. Dia adalah orang yang rela menabung untuk membeli barang yang dia sukai.

Sebenarnya tidak banyak hal menarik yang dapat kuceritakan tentang Ale. Wajah maupun gayanya belum mampu membuat dia untuk pantas menyandang gelar ‘Prom Prince’ sekalipun. Jadi aku tidak pernah memuji secuil ketampanan yang dia miliki. Kulitnya putih, rambutnya hitam dengan gaya awut-awutan, alisnya cukup lebat, matanya OK, dan dagunya khas dagu lelaki, hampir menempel dengan leher. Namun dari semua itu, wajahnya sedikit terganggu degan jerawat-jerawat kecil yang mengiasi jidatnya. Dia bukan mahasiswa dengan segudang prestasi, juga bukan mahasiswa pengangguran yang tanpa kegiatan. Dia sering ikut kegiatan di semacam event organizer, kadang juga dengan sukarela menjadi volunteer. Walau begitu, dia adalah salah satu teman baikku yang sama-sama stress. Sudah sekitar dua tahun lebih aku mengenalnya dengan baik dan aku merasa cukup nyaman berteman dengan orang macam dia walaupun dia bukan tidak terlalu dapat diandalkan saat final test.

“Aku kira kamu bakal nggak masuk hari ini, El.”

“Maunya sih nggak masuk. Aku juga berencana pengen liat-liat bakal rumah kontrakkan yang baru, Le.”

“Udah dapat rumah kontrakkan baru? Cepet banget! Di mana?”

“Dekat sama rumah yang lama, kok. Malah dekat sama rumah teman aku. Ya… kamu tau lah siapa yang aku maksud.”

“Si ‘Dia’? yang jahat itu kan.”

“Ya terserah kamu lah mau bilang dia itu apa. Tapi kan enak kalau nanti aku jadi tinggal di sana, jadi aku sudah langsung punya kenalan.”

“Iya juga sih. Jadi berapa hari ini kamu tinggal di mana?”

“Di rumah Intan, teman mbak Dian.”

“Enak tinggal di sana?”

“Nggak puas mandi. Air ledeng daerah sana sering macet.”

“Lu kata jalan raya.”

Aku langsung tersenyum dengan sedikit tertawa mendengar ucapan Ale barusan. Aku mungkin akan hidup bahagia seumur hidup kalau setiap detik dalam hidupku dapat tertawa seperti ini.

“Lapar nih, Chuy. Ke kantin, El.”

Aku berjalan di belakang mengikuti Ale menuju kantin yang letaknya ada di halaman samping kampus. Sepanjang perjalanan hampir semua orang yang berpapasan dengan kami menatapku dengan berbagai ekspresi. Sudah kuduga akan seperti ini keadaannya. Masing-masing di antara mereka mungkin berpikiran seperti ini, ‘ini ya, Elsie Gunawan. Kasihan ya rumahnya terbakar.’

Aku bersyukur dengan setulus hati ketika sudah sampai di kantin, dan lebih bersyukur lagi karena kantin sepi saat itu. Ale memilih tempat duduk di meja yang tepat berada di bawah kipas angin yang menggantung di langit-langit kantin. Dia lalu memesan makanan kesukaannya, sate, jumlahnya sepuluh tusuk lengkap dengan ketupatnya. Aku belum merasa lapar, yang aku pesan hanya segelas jus alpukat dan berharap semoga bisa menambah berat badanku.

Belum genap lima menit aku berada di kantin dengan suasana tenang, tiba-tiba masuk serombongan perempuan yang sudah tidak asing bagiku. Mereka berjumlah enam orang. Semuanya berbadan proporsional dengan rambut panjang terurai, dua di antara mereka berambut disemir coklat dan satu lainnya disemir merah. Di tengah rombongan ada Bella yang berambut hitam lurus. Mereka duduk tak jauh dari kami. Dari tempatku duduk, aku berhadapan dengan Bella yang duduk tepat menghadap ke arahku. Sejenak dia memandangku dan kemudian kembali memalingkan mukanya kepada teman-temannya.

Seumur hidup, baru kali ini aku berhadapan dengan Bella sampai dapat melihat wajahnya dengan sangat jelas. Wajahnya bagai terbentuk dari tulang wajah yang dipahat dengan keras sehingga membentuk dengan jelas sruktur wajahnya. Matanya dalam dan berwarna coklat cerah. Kulitnya putih bersih dengan kulit wajah yang putih berseri. Tak ada satu hal pun yang dapat dicela dari fisiknya, semuanya serba sempurna. Bukan sesuatu yang mengherankan mengenai kesempurnaanya itu, dia punya apapun yang dibutuhkan untuk menjadi cantik, terlebih uang.