Chapter 10 : Dia Masih Seperti Dulu
“Dian mana , El?”
Lamunanku tentang dirinya bunyar seketika. Aku menoleh ke arahnya dan tak sengaja aku menatap matanya. Lagi-lagi tatapan matanya yang santai masih sama dengan tatapannya yang dulu. Membuatku merasa betah.
“Dian tadi pergi ke kantor sama Bagas. Kasihan dia, semua bahan berita yang dia buat tadi malam juga ikut terbakar.”
“Lalu?” dia bertanya serius dengan alis mengerut. Tak sabar meninggu jawaban.
“Aku lapar. Aku belum makan dari tadi pagi.”
Dia kembali tersenyum, kali ini setengah tertawa mendengar perkataanku.
“Aku serius,” kataku membela diri karena aku sama sekali tidak terima dia tertawakan seperti itu.
“Mau makan apa, sih?’
Aku terdiam. Berpikir sejenak apa yang ingin aku makan. Sejumlah usulan makanan muncul di kepalaku, tapi cuma satu yang kupilih, dan langsung saja aku utarakan pada teman lamaku itu.
“Enaknya sih, makan nasi goring.”
Dia terkejut mendengar perkataanku.
“Nasi goreng? Nyari di mana nasi goreng pagi kaya gini, El? Kalau malam sih banyak yang jualan nasi goreng. Beli bubur ayam aja, kan warung bubur ayam ada di perempatan jalan sana.”
Aku langsung cemberut dengan sedikit dibuat-buat. Aku memang jarang, sebenarnya malah tidak pernah sama sekali, makan bareng dia. Wajar saja kalau dia tidak tahu sama sekali makanan kesukaanku adalah nasi goreng. Tidak adil namanya kalau aku marah hanya gara-gara hal seperti ini. Namun sekian lama aku tidak bertemu dengannya, sekian lama aku tidak ngambek padanya.
“Bubur ayam di perempatan jalan sana enak kok, El.” Dia mencoba membujukku.
“Emang sih enak, tapi kamu tau nggak….” Aku sengaja diam beberapa detik untuk memancing rasa penasaran dia. “Terakhir kali aku makan bubur ayam, lidahku hampir melepuh gara-gara kepanasan.”
“Kamu sih nggak hati-hati. Makanya kalau makan pelan-pelan. Makanan tuh bukan mahluk yang punya kaki yang kalau lambat disantap dia bias kabur.”
Dia mulai memberiku petuah atau mungkin wajengan, yang baiknya harus aku turuti dan lakukan, seperti sering dia lakukan dulu padaku.
Suara deru mobil terdengar berhenti di depan rumah. Sejauh yang aku kenal, suara deru mobil itu adalah suara mobil Bagas. Aku segera keluar dan di luar ku lihat Dian dan Bagas keluar dari mobil bersamaan.
“DIAN!!.” Aku berteriak memanggil Dian.
Dian menoleh ke arahku dan langsung mendatangiku, diiringi Bagas yang berjalan di belakangnya. Dian sama kucelnya dengan penampilannya subuh tadi. Ku kira dia akan numpang mandi di rumah temannya atau di rumah Bagas sebelum pergi ke kantor.
“Gimana, Mbak Di?” tanyaku penuh rasa ingin tahu. “Kok lama.”
“Jangan kira komputerku meledak dan rumahku terbakar akan bias menghentikan tulisanku di koran. Beritanya bakal tetap ada di koran tiap hari selama aku masih hidup,” jawab Dian penuh rasa percaya diri. “Tiap tulisan yang aku buat, aku buat copynya sampai tiga atau bahkan empat dan tersebar di mana-mana.”
“Di mana-mana, di mana, Mbak?”
“Ada yang di CD-R, disket, flash drive, dan ada juga yang di laptop Bagas. Tadi malam baru aku pindah ke laptop Bagas.”
“Smart juga.”
Dian memiringkan kepalanya dan tampak memandangi sesuatu melalui pundakku. Dia lalu melirik ke arahku dengan lirikannya yang khas, matanya menyorotkan rasa ingin tahu yang menjilat-jilat seluruh jiwanya. Aku menoleh ke belakang. Ku lihat sesosok pria muda dengan baju kaos oblong hitam dan celana pendek sedang berjalan kea rah kami.
“Hei, kapan balik? Kamu apa kabar?” sapa Dian.
“Baru dua hari yang lalu,” jawab pria muda itu yang tidak lain adalah teman lamaku.
“Pacar kamu ya, El?” celutuk Baga.
Aku sangat kaget mendengar apa yang dikatakan Bagas. Bagaimana mungkin dia bisa berkata seperti itu, sedangkan kami tidak menunjukkan gelagat layaknya seorang pasangan. Apakah sesuatu hal yang aneh kalau aku punya teman yang lumayan dekat tetapi berbeda jenis kelamin. Dan setiap kedekatan yang seperti itu harus diresmikan sebagai hubungan yang dinamakan pacaran. Aku salah satu orang di dunia ini yang sangat tidak setuju dengan hal seperti itu. Aku dan dia berteman dalam batas normal. Kami pernah dekat karena kami adalah manusia waras yang menjunjung tinggi sikap saling menghormati. Respect. Sangat menyenangkan mengenal dekat seseorang. Mengetahui banyak hal tentang seseorang dan belajar banyak hal darinya. Itulah salah satu dari sekian banyak hal terbaik yang ada di dunia ini. Paling tidak hidupku tidak melulu monoton dengan satu warna.
“Dia teman lama aku, Cuma sudah lama kita nggak ketemu,” jelasku mencoba menyakinkan Bagas. “Mbak Di, cari makan, yuk. Lapar nih.” Aku sengaja mengalihkan pembicaraan. Aku tidak ingin Bagas terlalu banyak bertanya tentang aku dan teman lamaku itu.
“Oh, iya, El,” Dian berbicara seperti orang yang baru menemukan kembali ingatannya yang hilang. “Sementara ini kita numpang di rumah temanku. Namanya Intan, dan ruamahnya ngak jauh dari sini. Kita bakal tinggal di sana sampai dapat kontrakkan baru. Nanti kita cari kontrakkan yang dekat sama kantor aku, jadi kalau ada apa-apa bisa langsung ke kantor.”
“Apanay yang apa? Kalau gotu jauh dari kampus aku, domg. Udah cukup Mbak tiap kali masuk aku lebih sering masuk telat daripada tepat waktu.” Aku protes habis-habisan kalau Dian benar-benar mencari rumah kontrakkan yang dekat dengan kantornya. Bagaimana tidak, waktu yang harus aku perlukan sekitar setengah jam perjalanan untuk sampai ke kampus dari kawasan tempat kerja Dian, belum terhitung macet yang biasa terjadi tiap pagi.
“Tapi kalau dekat kantor lebih aman, El.”
“Kenapa nggak tinggal di kantor aja sekalian? Memangnya kantor kamu kantor polisi.”
“Dekat rumahku ada rumah kontrakkan, er…. Kalau mau di sana aja.”
Aku menoleh kea rah teman lamaku sekali lagi. Dia mengusulkan agar aku tinggal dekat rumahnya. Apa itu akan membuat frekuensi bertemu kami akan jadi lebih banyak? Aku senang kalau begitu, tapi tetap saja tidak bias begitu, karena dia masih harus menyelesaikan kuliah magisternya.
“Oh ya,” Dian mengeluarkan ekspresi yang kurasa tak perlu dia keluarkan. “Memangnya rumah kamu dimana?”
“Tigablok dari sini. Rumahnya paling ujung. Bangunannya baru aja direnovasi jadi dua lantai.”
“Nanti deh, kalau ada waktu sore nanti kami coba liat-liat ke sana,” kata Dian sambil melirik ke arah ku.
Aku merasa OK saja dengan sikap Dian barusan, paling tidak dia menghargai tawaran dari teman lamaku. Aku tahu melalui lirikannya, Dian meminta agar aku mengeluarkan sedikit suara atau gerakan tubuh sebagai sebuah tanda setuju atas pernyataannya. My dear, aku saying dia sebagai kakak terbaik yang pernah Tuhan anugerahkan untuk ku, dan aku tak sampai hati membuatnya jadi repot gara-gara aku.
“Terserah aja deh, yang penting kita semua bias merasa aman dan nyaman mau tinggal di mana pun,” kataku dengan mencoba sedikit melunak. “Mbak Dian, makan Yuk.”
“Ya ampun, El, kamu belum makan? Kenapa enggak cari makan sendiri aja tadi?”
“Nggak ada uang,” jawabku dengan polosnya, “kan dompet yang ada uang banyak ketinggalan di kamar dan ikut kebakar. Dompet yang ada sama aku Cuma ada uang dua ribu lima ratus rupiah.”
“Kebanyakan punya dompet sih!” celutuk Bagas.
“Ya udah, kita cari makan sama-sama,” kata Dian sambil menarik lengan kananku, “mau makan apa?”
“Soto.”
“Tadi katanya mau makan nasi goreng,” protes teman lamaku dari belakang.
“Masalahnya sekarang aku mau makan sesuatu yang berkuah.”
Aku tersenyum kea rah teman lama ku itu dengan mamerkan kebahagiaan di wajahku yang semula aku simpan. Aku bahagia karena aku masih di beri kesempatan sekali lagi untuk, paling tidak, sedikit ngerjain dia.
*****

Chapter 10 : Dia Masih Seperti Dulu
“Dian mana , El?”
Lamunanku tentang dirinya bunyar seketika. Aku menoleh ke arahnya dan tak sengaja aku menatap matanya. Lagi-lagi tatapan matanya yang santai masih sama dengan tatapannya yang dulu. Membuatku merasa betah.
“Dian tadi pergi ke kantor sama Bagas. Kasihan dia, semua bahan berita yang dia buat tadi malam juga ikut terbakar.”
“Lalu?” dia bertanya serius dengan alis mengerut. Tak sabar meninggu jawaban.
“Aku lapar. Aku belum makan dari tadi pagi.”
Dia kembali tersenyum, kali ini setengah tertawa mendengar perkataanku.
“Aku serius,” kataku membela diri karena aku sama sekali tidak terima dia tertawakan seperti itu.
“Mau makan apa, sih?’
Aku terdiam. Berpikir sejenak apa yang ingin aku makan. Sejumlah usulan makanan muncul di kepalaku, tapi cuma satu yang kupilih, dan langsung saja aku utarakan pada teman lamaku itu.
“Enaknya sih, makan nasi goring.”
Dia terkejut mendengar perkataanku.
“Nasi goreng? Nyari di mana nasi goreng pagi kaya gini, El? Kalau malam sih banyak yang jualan nasi goreng. Beli bubur ayam aja, kan warung bubur ayam ada di perempatan jalan sana.”
Aku langsung cemberut dengan sedikit dibuat-buat. Aku memang jarang, sebenarnya malah tidak pernah sama sekali, makan bareng dia. Wajar saja kalau dia tidak tahu sama sekali makanan kesukaanku adalah nasi goreng. Tidak adil namanya kalau aku marah hanya gara-gara hal seperti ini. Namun sekian lama aku tidak bertemu dengannya, sekian lama aku tidak ngambek padanya.
“Bubur ayam di perempatan jalan sana enak kok, El.” Dia mencoba membujukku.
“Emang sih enak, tapi kamu tau nggak….” Aku sengaja diam beberapa detik untuk memancing rasa penasaran dia. “Terakhir kali aku makan bubur ayam, lidahku hampir melepuh gara-gara kepanasan.”
“Kamu sih nggak hati-hati. Makanya kalau makan pelan-pelan. Makanan tuh bukan mahluk yang punya kaki yang kalau lambat disantap dia bias kabur.”
Dia mulai memberiku petuah atau mungkin wajengan, yang baiknya harus aku turuti dan lakukan, seperti sering dia lakukan dulu padaku.
Suara deru mobil terdengar berhenti di depan rumah. Sejauh yang aku kenal, suara deru mobil itu adalah suara mobil Bagas. Aku segera keluar dan di luar ku lihat Dian dan Bagas keluar dari mobil bersamaan.
“DIAN!!.” Aku berteriak memanggil Dian.
Dian menoleh ke arahku dan langsung mendatangiku, diiringi Bagas yang berjalan di belakangnya. Dian sama kucelnya dengan penampilannya subuh tadi. Ku kira dia akan numpang mandi di rumah temannya atau di rumah Bagas sebelum pergi ke kantor.
“Gimana, Mbak Di?” tanyaku penuh rasa ingin tahu. “Kok lama.”
“Jangan kira komputerku meledak dan rumahku terbakar akan bias menghentikan tulisanku di koran. Beritanya bakal tetap ada di koran tiap hari selama aku masih hidup,” jawab Dian penuh rasa percaya diri. “Tiap tulisan yang aku buat, aku buat copynya sampai tiga atau bahkan empat dan tersebar di mana-mana.”
“Di mana-mana, di mana, Mbak?”
“Ada yang di CD-R, disket, flash drive, dan ada juga yang di laptop Bagas. Tadi malam baru aku pindah ke laptop Bagas.”
“Smart juga.”
Dian memiringkan kepalanya dan tampak memandangi sesuatu melalui pundakku. Dia lalu melirik ke arahku dengan lirikannya yang khas, matanya menyorotkan rasa ingin tahu yang menjilat-jilat seluruh jiwanya. Aku menoleh ke belakang. Ku lihat sesosok pria muda dengan baju kaos oblong hitam dan celana pendek sedang berjalan kea rah kami.
“Hei, kapan balik? Kamu apa kabar?” sapa Dian.
“Baru dua hari yang lalu,” jawab pria muda itu yang tidak lain adalah teman lamaku.
“Pacar kamu ya, El?” celutuk Baga.
Aku sangat kaget mendengar apa yang dikatakan Bagas. Bagaimana mungkin dia bisa berkata seperti itu, sedangkan kami tidak menunjukkan gelagat layaknya seorang pasangan. Apakah sesuatu hal yang aneh kalau aku punya teman yang lumayan dekat tetapi berbeda jenis kelamin. Dan setiap kedekatan yang seperti itu harus diresmikan sebagai hubungan yang dinamakan pacaran. Aku salah satu orang di dunia ini yang sangat tidak setuju dengan hal seperti itu. Aku dan dia berteman dalam batas normal. Kami pernah dekat karena kami adalah manusia waras yang menjunjung tinggi sikap saling menghormati. Respect. Sangat menyenangkan mengenal dekat seseorang. Mengetahui banyak hal tentang seseorang dan belajar banyak hal darinya. Itulah salah satu dari sekian banyak hal terbaik yang ada di dunia ini. Paling tidak hidupku tidak melulu monoton dengan satu warna.
“Dia teman lama aku, Cuma sudah lama kita nggak ketemu,” jelasku mencoba menyakinkan Bagas. “Mbak Di, cari makan, yuk. Lapar nih.” Aku sengaja mengalihkan pembicaraan. Aku tidak ingin Bagas terlalu banyak bertanya tentang aku dan teman lamaku itu.
“Oh, iya, El,” Dian berbicara seperti orang yang baru menemukan kembali ingatannya yang hilang. “Sementara ini kita numpang di rumah temanku. Namanya Intan, dan ruamahnya ngak jauh dari sini. Kita bakal tinggal di sana sampai dapat kontrakkan baru. Nanti kita cari kontrakkan yang dekat sama kantor aku, jadi kalau ada apa-apa bisa langsung ke kantor.”
“Apanay yang apa? Kalau gotu jauh dari kampus aku, domg. Udah cukup Mbak tiap kali masuk aku lebih sering masuk telat daripada tepat waktu.” Aku protes habis-habisan kalau Dian benar-benar mencari rumah kontrakkan yang dekat dengan kantornya. Bagaimana tidak, waktu yang harus aku perlukan sekitar setengah jam perjalanan untuk sampai ke kampus dari kawasan tempat kerja Dian, belum terhitung macet yang biasa terjadi tiap pagi.
“Tapi kalau dekat kantor lebih aman, El.”
“Kenapa nggak tinggal di kantor aja sekalian? Memangnya kantor kamu kantor polisi.”
“Dekat rumahku ada rumah kontrakkan, er…. Kalau mau di sana aja.”
Aku menoleh kea rah teman lamaku sekali lagi. Dia mengusulkan agar aku tinggal dekat rumahnya. Apa itu akan membuat frekuensi bertemu kami akan jadi lebih banyak? Aku senang kalau begitu, tapi tetap saja tidak bias begitu, karena dia masih harus menyelesaikan kuliah magisternya.
“Oh ya,” Dian mengeluarkan ekspresi yang kurasa tak perlu dia keluarkan. “Memangnya rumah kamu dimana?”
“Tigablok dari sini. Rumahnya paling ujung. Bangunannya baru aja direnovasi jadi dua lantai.”
“Nanti deh, kalau ada waktu sore nanti kami coba liat-liat ke sana,” kata Dian sambil melirik ke arah ku.
Aku merasa OK saja dengan sikap Dian barusan, paling tidak dia menghargai tawaran dari teman lamaku. Aku tahu melalui lirikannya, Dian meminta agar aku mengeluarkan sedikit suara atau gerakan tubuh sebagai sebuah tanda setuju atas pernyataannya. My dear, aku saying dia sebagai kakak terbaik yang pernah Tuhan anugerahkan untuk ku, dan aku tak sampai hati membuatnya jadi repot gara-gara aku.
“Terserah aja deh, yang penting kita semua bias merasa aman dan nyaman mau tinggal di mana pun,” kataku dengan mencoba sedikit melunak. “Mbak Dian, makan Yuk.”
“Ya ampun, El, kamu belum makan? Kenapa enggak cari makan sendiri aja tadi?”
“Nggak ada uang,” jawabku dengan polosnya, “kan dompet yang ada uang banyak ketinggalan di kamar dan ikut kebakar. Dompet yang ada sama aku Cuma ada uang dua ribu lima ratus rupiah.”
“Kebanyakan punya dompet sih!” celutuk Bagas.
“Ya udah, kita cari makan sama-sama,” kata Dian sambil menarik lengan kananku, “mau makan apa?”
“Soto.”
“Tadi katanya mau makan nasi goreng,” protes teman lamaku dari belakang.
“Masalahnya sekarang aku mau makan sesuatu yang berkuah.”
Aku tersenyum kea rah teman lama ku itu dengan mamerkan kebahagiaan di wajahku yang semula aku simpan. Aku bahagia karena aku masih di beri kesempatan sekali lagi untuk, paling tidak, sedikit ngerjain dia.
*****


Chapter 9 : Yang Pergi Datang Kembali
subuh berlalu diiringi pagi yang datang tanpa sinar matahari. Api sudah tak berkobar lagi, petugas pemadam kebakaran telah berhasil memadamkannya setelah berkutat selama hampir setengah jam lamanya. Petugas pemadam kebakaran telah bekerja dngan baik. Hanya dua bangunan yang terbakar, yaitu rumah yang kami aku tinggali dan sebuah toko ponsel yang terletak di samping rumah kontrakkanku. Menurut cerita Pak Ahmad yang tinggal di seberang rumahku, api berasal dari toko ponsel itu, dugaan sementara karena arus pendek. Toko ponsel itu sendiri tak pernah buka lagi sejak seminggu yang lalu.
Aku masuk ke dalam rumahku yang kini dihiasi puing-puing kebakaran. Semuanya tampak hitam dan gosong. Dinding-dinding rumahku yang semula berwarna putih tulang kini lebih mirip seperti dinding yang bercat arang. Semuanya hancur berantakkan, benar-benar tak ada barang yang dapat diselamatkan. Pak Ahmad bilang, api menjalar dengan cepat dan tak ada seorang pun yang berani mendekati rumah kami hanya untuk menyelamatka satu atau dua barang kami, melainkan mereka hanya berpikir bagaimana api itu agar tidak menjalar ke rumah yang lain.
Aku berjalan ke ruang tengah. Di sana, televisi dan komputer juga ikut terbakar, padahal Dian sudah menyiapkan naskah beritanya di dalam komputer itu. Aku mengalihkan pandanganku ke dinding pemisah antara ruang tengah dan ruang tamu. Tak ada lagi lukisan yang sempat membuatku ngeri untuk melihatnya tadi malam. Jauh di libuk hatiku, aku sebenarnya mengagumi lukisan itu, hanya saja terkadang aku ngeri saat memperhatikannya karena terasa sangat hidup.
“ELSIE !!!”
Terdengar sebuah suara laki-laki yang berteriak memanggil namaku dari luar rumah. Entah kenapa aku langsung saja pergi ke luar rumah untuk mencari tahu siapa yang memanggil ku. Tak perlu repot-repot ke luar rumah, baru sampai aku di ruang tamu aku sudah dapat mengetahui siapa yang memanggil ku. Ada seorang laki-laki yangmasuk ke ruang tamu. Aku tersenyum dan langsung mengenalinya. Dia teman lamaku, teman baikku dulu dulu yang udah beberapa tahun belakangan ini tidak pernah berjumpa dengan ku lagi. Aku mengeluarkan aekspresi jengkel saat melihatnya. Kenapa dia baru menemui ku di saat seperti ini? Tapi sebenarnya hatiku bahagia dapat melihatnya lagi.
“Hai, El!”dia menyapa ku duluan saat aku membalikkan badan hndak kembali melanjutkan penelusuran ku di setiap ruang yang masih dapat dijamah. Dia lalu mengikuti ku dari belakang.
“Kapan kamu balik?”tanyaku sambil berjalan menuju dapur.
“Dua hari yang lalu,” jawabnya singkat.
Aku sedikit kecewa mendengar jawabannya. Apa tak pernah terbesit dalam pikirannya untuk mengunjungi ku sebelum kejadiaan ini.
“El, rumah kamu kok bias kebakar kaya gini, sih?”
“Katanya sih karena arus pendek di toko ponsel sebelah. Kamu kok bias ke sini?”
“Aku baca di koran, Rumah Dian Gunawan Ludes Terbakar. Makanya aku langsung ke sini buat ngecek berita itu.”
“Masuk koran?” aku kaget. Aku benar-benar tak menyangka kejadian ini akan masuk koran.
“He eh. Dian apa kabar, sih? Dia hot banget, ya?”
Aku tak menjawab apa-apa selain mengangkat kedua alisku yang berarti, iya.
“Magister kamu gimana?” tanayaku mengalihkan pembicaraan.
Sejenak dia terdiam, tak menjawab pertanyaanku. Tapi dapat ku lihat , kedua ujung bibirnya tertarik dengan rileks dan dia tersenyum. Kepalanya lalu menunduk ke bawah, memandangi lantai yang kotor oleh abu kebakaran yang becek, kemudian kembali mendongak dan memandang ke sana-ke mari tak karuan. Lama tak bertemu ternyata dia tidak berubah sama sekali. Mungkin ini yang namanya sikap asli, dia selalu tersenyum sendiri bila ditanya hal-hal tentang dirinya.
“Kalau semuanya lancar, Cuma tinggal satu semester lagi. Makanya,doain.”
Aku rasa inilah saatnya mengeluarkan uneg-unegku padanya.
“Kenapa baru sekarang kamu ke sini? Kamu belum lupa sama teman lama kan.’
“Yah, nggak sempat, El. Kalau balik ke sini bawaannya Cuma pengen istirahat. Kangen rumah, kangen keluarga, kangen teman-teman juga.”
“Tapi kamu nggak pernah ke sini kan, yee….”
“Tapi kamu baik-baik aja kan. Zaman sekarang gitu, El, komunikasi nggak sesusah dulu. Kalau ada apa-apa kan masih bias nelpon, SMS, nge-blog.”
“Kalau rumahku nggak kebakaran, apa kamu bakal ke sini?”
“Elsie….” Cukup di situ, dia tak mlanjutkan kata-katanya lagi.
Mungkin tak seharusnya aku mengajukan pertanyaann seperti itu. Yapi semenjak kepergiaannya dan kami tidak pernah berjumpa lagi saat itu, semua hal yang terjadi dulu terasa salah bagiku. Salah karena tak mengucapkan salam oerpisahan. Salah karena tidak saling tegur duluan. Salah karena karena terlalu menyenangkan berteman dengan orang seperti dia. Salah karena mengenalnya. Dan semua kesalahan itu membuat aku merindukannya. Setiap hari yang aku jalani sendiri tanpa dia terasa seperti hari yang tanpa angin. Angin yang membuatku merasa sejuk, sampai lupa bahwa matahari yang bersinar telah berganti bulan. Angin yang membuat rambutku berantakkan sehingga aku harus merapikannya. Sifatnya yang terkadang menjengkelkan, seringkali menarik perhatianku. Selama ketidak berjumpaan kami, yan berarti tidak ada yang perlu aku perhatiakan, membuatku merasa seperti pengangguran. Gaya dia tertawa yang membuatku jadi ikut-ikutan tartawa, ya, itulah kesalahan terbesar dia padaku.
*****