Chapter 8 : Si Merah yang Mengamuk

Jalan di sekitar kawasan tempat tinggalku tiba-tiba saja ramai pagi itu. Banyak orang yang mondar-mandir di pinggir jalan, bahkan ada yang berlarian ke sana-ke mari dengan masih mengenakan pakaian tidur mereka. Samar-samar aku mendengar suara serine mobil pemadam kebakaran. Aku celingak-celinguk mencoba mencari asal kejadian. Sekitar seratus lima puluh meter, arah jam dua, aku melihat kobaran api yangmenjilat-jilat ke udara dan membuat cahaya memerah di sekitarnya. Kali ini jantungku berdetak lebih kencang lagi. Aku menepuk pundak Dian yang sedang mengenderai motorku.

“Aduh, El, rumah kita gimana, ya?” Tanya Dian denagn nada yang tak terkontrol, penuh kekhawatiran.

Lama-kelamaan semakin banyak orang yang berkerumun di jalan. Dian tidak bisa lagi mempercepat laju motor.

“El, kamu turun, El. Coba lihat apa rumah kita kena,” suruh Dian.

Aku segara turun dari motor dan berjalan secepat aku bias menembus kerumunan orang di jalanan. Beberapa kali aku menabrak orang-orang yang mengahangi jalanku. Mendorong mereka ke pinggir, meneriaki mereka dengan kata ‘permisi’ atau ‘minggir’, dan aku bahkan tidak memperdulikan kakiku yang menginjak kaki orang lain.

Jantungku memang tidak meledak, aku memang masih hidup dan sadarkan diri, namun seluruh darah di sekujur tubuhku terasa mendidih. Ini bukan jarena panasnya api yang berasal dari kebakaran tersebut, melainkan karena rasa kaget bercampur panik dan takut yang aku rasakan saat melihat rumah di depanku berdiri saat ini seluruhnya dilahap oleh si jago merah.

“Ya Allah….” Aku tidak dapat berkata apa-apa lagi, suaraku tersedak oleh tangis yang mendesak keluar.

Dian tiba-tiba muncul di sampingku dan langsung memelukku. Kami tak bias berbuat apa-apa dan hanya bisa menangis. Seluruh harta benda kami, kecuali si Putih motor matic ku, ada di dalam rumah yang terbakar itu. Sekarang kami hanya memiliki diri kami bersama pakaian yang melekat di tubuh kami. Beruntung Dian membawa handphonenya saat pergi tadi, sedangkan aku tidak.

Di pagi buta ini, entah nasib sial macam apa yang menimpa kami, semuanya serba tak jelas. Cukup kami tertipu dengan berita tentang om Yuda, dan kini tanpa tahu apa-apa rumah kami terbakar beserta seluruh isinya.

*****

Chapter 7 : Putra Bangsa

Aku dan Dian datang dengan tergesa-gesa ke rumah sakit. Aku memasang jaketku erat-erat karena entah mengapa aku merasa udara pagi ini sangat dingin sekali. Suasana di depan rumah sakit saat itu tampak lengang, hampir tak ada orang yang hilir mudik di halaman rumah sakit. Sesampainya di loby , aku dan Dian langsung menuju meja informasi untuk mencari tahu di mana om Yuda dirawat.

“Maaf, Mbak, ini bukan jam besuk,” kata si perawat yang sedang jaga saat itu.

“Sus,barusan ada orang masuk, bapak-bapak, namanya Yuda Arianto, pasien stroke, dirawat di mana, ya?” Tanya Dian, dengan irama yang tidak teratur dan jelas.

Perawat itu langsung berbalik ke belakang dan mengambil sebuah buku besar yang terletak di atas meja kay kecil yang panjang dibelakang meja informasi. Dia lalu membawa buku itu ke hadapan aku dan Dian dan membukanya dengan gerakan tangan yang cepat. Di halaman kesekian dari buku itu, jari tangan kanannya yang lentik mulai merayap turun dari atas ke bawah pada kolom nama. Setelah memeriksa sekitar tiga halaman, perawat itu mendongak dan menggelengkan kepalanya kepada kami.

“Maaf, Mbak, tidak ada pasien stroke yang bernama Yuda Arianto yang masuk hari ini,” jelas si perawat.

Dian menoleh ke arahku. “el, kamu yakin yang nelpon tadi tante Gina? Kok bias nggak ada, sih?”

“Beneran, Mbak.”

“Kamu ngigau kali, El.”

“Beneran, Mbak. Tadi tante Gina sendiri yang bilang kalau om Yuda kena stokr dan masuk rumah sakit sini,” kataku membela diri.”Begini saja, Mbak,” si perawat mencoba member solusi, “Mbak berdua silahkan melihat-lihat di sekitar ruangan ICU. Mungkin di sana ada seseorang yang mungkin orang yang Anda kenal. Tapi mohon jangan buat keribuatan.”

Aku merasa ada benarnya juga melakukan apa yang disarankan oleh perawat itu. Kami berdua lalu pergi ke ruang ICU. Sesampainya kami di sana, aku memasang mata dengan sangat terfokus untuk memperhatika melalui kaca pintu setiap kamar di ICU wajah-wajah orang yang terbaring ranjang danorang-orang yang ada di sekitar kami. Tapi, hampir sampai ujng ruang ICU, aku maupun Dian sama sekali tidak menemukan om Yda ataupun tante Gina, bahkan keluarga atau kerabat yang kami kenal.

Dian melirik jengkel ke arahku. “Nggak ada kan, El,” gerutu Dian.

Aku diam, tak tahu harus membalas denan jawaban seperti apa. Aku mencoba berpikir ulang, tapi aku yakin aku tidak salah. Orang yang engaku tante Gina tadi memang meminta kami untuk datang ke sini. Aku menggeleng pelan. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

Dengan melangkah lunglai aku mengikuti Dian yang berjalan cepat dari belakang. Aku tahu dan dapat menyadarinya bahwa ekspresi Dian yang seperti itu berarti dia sedang jengkel. Aku tak berani mengeluaarkan epatah kata pun kalau berada dalm keadaan seperti ini.

Suara serine mobil pemadam kebakaran memecah keheningan pagi itu. Sebuah mobil besarpemadam kebakaran roda enam melintas dengan kecepatan tinggi di jalan raya. Aku terpana dengan apa yang aku lihat. Dan tiba-tiba tanpa ku minta jantungku berdetak dengan kencang.

*****

Chapter 6 : Ring… Ring…

Aku, tanpa rasa kantuk sedikit pun, bangun di pagi hari terlalu pagi. Saat kulirik jam yang terpajang di dinding kamarku yang berwarana putih, jam menunjukkan pukul setengah empat pagi. Tidurku tak enak, tak nyaman , dan tak tenang. Mungkin ini karena aku terlalu memikirkan apa yang terjadi antara Dian, Bagas, dan pak Bambang. Aku mulai khawatir saat Dian bilang dia mulai dibuntuti orang-orang aneh sejak memuat berita mengenai kasus korupsi ayah Bella. Memang dapat di bialng Dian yang mencari masalah dengan pak Bambang, dia terlalu berani untuk mengusiknya. Di atas segalanya, pak Bambang adalah orang yang dapt melakukan apa pun yang dia inginkan, semua yang dia lakukan berada di jalur aman. Untuk menyingkirkan Dian bisa dengan mudah dia lakukan, bahkan membuat ‘hancur’ koran yang menampung Dian saat ini.

Aku bangkit dari tempat tidurku dan berjalan keluar kamar menuju dapur. Rasa haus melanda, mungki deidrasi yang dikarenakan aku terlalu memikirkan hal ini. Ketika sampai di ruang tengah, tiba-tiba telpon rumah berdering. Aku membiarkan saja telpon itu bordering begitu saja tanpa ada keinginan dariku untuk mengangkatnya sampai akhirnya aku menjadi stress sendiri dan terpaksa mengangkatnya.

“Halo,” kataku dengan nada tidak ramah. Aku jengkel bila ada yang menelpon ke telpon rumah pagi buta seperti ini, membuat berisik.

“Halo, ini Dian?” Tanya sebuah suara perempuan bersuara serak di seberang sana.

“Bukan,Dian sedang tidur,” aku menjawab asal saja. Padahal aku sendiri tidak tahu apakah Dian sedang tidur atau tidak.

“Oh, er…. Ini Elsie, ya?” tanyanya lagi.

“He eh.”

“Elsie, ini tante Gina. Om Yuda masuk rumah sakit. Dia stroke mendadak. Kalian berdua tolonga datang ke sini , RS Putra Bangsa. Tolong tante, ya. Sekarang.”

Aku berusaha mengungat-ingat siapa tante Gina. Kalau aku tidak salah ingat, dia sepupu ayahku yang kaya raya itu. Seberapa penting sih kami sampai dia meminta kami datang sekarang.

“Elsie, sudah dulu , ya. Tante mau menghubungi keluarga yang lain lagi.” Setelah berkata begitu dia langsung menutup telpon.

*****

Chapter 5 : Bagas

Aku sedang membersihkan luka di mata kaki kiriku akibat terasah aspal ketika jatuh tadi siang dengan lap basah saat lonceng di depan pintu berbunyi di malam hari. Sumpah, aku malas berdiri untuk membukakan pintu karena kakiku pasti akan terasa sakit. Tapi karena satu penghuni rumah ini belum pulang, dengan menahan rasa sakit aku terpaksa membukakan pintu. Wajah Dian terlihat ceria saat aku membuka pintu. Di sampingnya berdiri seorang pria tinggi dengan pakaian perlente, namunagak sedikit berantakan. Aku menjauh meninggalkan pintu menuju ruang tengah untuk kembali membersihkan lukaku, mengacuhkan Dian serta pria yang datang bersamanya itu apakah mau masuk atau tidak.

Aku duduk di atas kursi dengan kaki kiri terangkat sambil membersihkan lukaku. Dian masuk ke ruang tengah dengan menggendong tas kerja yang biasa dia pakai dan sebuah tas yang ku tebak itu adalah tas laptop. Dia lalu meletakkan kedua tas itu di atas kursi di sampingku dan pergi ke dapur setelah itu. Sepertinya dia tidak memperhatikan apa yang aku kerjakan, sampai-sampai dia tidak berkomentar tentang lukaku. Paling tidak dia seharusnya bertanya, “kaki kamu kenapa, El?” Ok, untuk luka ringan seperti ini, sedikit ketidak perduliannya tidak akan membuat aku mati, ‘kan.

Dari tempat dudukku, aku dapat mendengar keributan yang dibuat oleh Dian di dapur. Dia memasukkan es batu ke dalam gelas, mungkin secara brutal, yang terdengar sampai sini. Lalu tak lama kemudian terdengar pula suara benda bertabrakkan yang menimbulkan bunyi kelontongan. Mendengar keributan itu, pria yang tadi datang bersama Dian berjalan menuju dapur melalui ruang tengah. Sebelum sampai ke dapur, dia berhenti dan menoleh ke arahku sambil bertanya, “apa yang terjadi, El?”

“tuh, Dian di dapur. Mungkin ada yang jatuh,” jawabku singkat. Aku sih maklum-maklum saja dengan segala keributan kecil yang sering dibuat Dian, karena dia tak pernah bekerja dengan tenang.

“El, kaki kamu kenapa?”

Aku mendongak dan menatap pria itu. “Terjatuh dari motor tadi siang,” jawabku singkat. Saat melihatnya, aku yakin bahwa yang aku lihat tadi siang adalah benar orang yang aku kenal. Jadi, ada harga atas luka di mata kakiku, paling tidak aku tidak memperhatikan orang yang salah.

Aku tak pernah menyangka sebelumnya bahwa Bagas, tunangan kakakku, berminat ikut berkecimpung di dunia politik. Bagas aku kenal selama ini adalah seorang pengacara handal yang berasal dari sebuah firma hokum terkenal yang dia dirikan bersama kakaknya dengan penghasilan yang dapat dikatakan memakmurkan.

“Kamu tadi ikut kampanye?” tanyaku tanpa basa-basi.

Kedua alis Bagas terangkat tinggi. “Memangnya tadi kamu juga ikut kampanye?”

“Enggak, cuma liat pas lewat di jalan tadi. Kok bias, Gas?”

“Aku jadi juru kampanye dia. Pak Ilham sendiri yang meminta ku sejak awal dia mencalonkan diri sebagai Gubernur. Dan aku yakin, EL, dia akan menang.”

“Tentu saja karena ayah Bella sudah tersandung skandal korupsi itu,” kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku.

Entah ini sebuah kebetulan atau memang sudah terencana sebelumnya, Bagas menjadijuru kampanye pak Ilham, lawan ayah Bella, dan Dian berkutat habis-habisan menguak skandal korupsi ayah Bella yamg tak pernah terungkap sebelumnya. Aku terusik dengan keadaan ini dan langsung mengutarakan apa yang aku pikirkan, “wow, kamu jadi juru kampanye Mr. Ilham, sedangkan Dian jadi wartawan yang terlalu berani mengungka p kasus korupsi ayah Bella.”

“Ayah Bella? Maksud kamu Pak Bambang. Memangnya Bella itu siapa kamu, El?”

“Teman kuliah aku.”

“Teman? Pantas Dian dengan mudah dapat berita.”

Aku diam tak membalas komentar Bagas. Kubiarkan saja suasana diam yang aneh meliputi kami. Tak lama kemudian terdengar lankah kaki Dian dari dapur sedang menuju ke ruang tengah “Ada yang aku tidak tahu, ya, Gas?” tanyaku serius kepada Bagas dengan suara yang sengaja kutajamkan, sesaat sebelum akhirnya Dian masuk.

“Lho, kok brdiri di situ, Gas?” Dian masuk dengan membawa dua gelas es jeruk yang dia pegang di kedua belah tangannya, lalu menyerahkan gelas yang ada di tangan kanannya kepada Bagas yang sangat menyukai minuman jeruk. “Kita ngobrol di ruang tamu aja, ya,” mereka berdua kemudian berjalan ke ruang tamu.

Selama waktu berjalan saat itu, aku memperhatikan mereka sampai mereka hilang dari pandanganku di ruang tengah, di mana ruang tamu dan ruang tengah yang dihalangi oleh tembok dinding berwarna putih tulang. Di dinding itu ada sebuah lukisan potret hitam putih besar bergambar sekelompok gadis yang duduk-duduk di bawah pohon rindang di sebuah padang rumput. Aku merasa beberapa gadis dalam lukisan itu memendangiku dengan pandangan yang terasa hidup. Seorang di antaranya berambut keriting dan bermata besar , tampak sedang melotot ke arah ku. Aku langsung memalingkan mukaku, lalu berdiri dan pergi ke kamar tanpa menoleh sedikit pun ke belakang.

Aku harus melawati ruang tamu agar bias sampai ke kamarku. Di sana aku melihat Dian dan Bagas duduk bersebelahan, di kursi kayu dengan ayaman rotan pada dudukan dan sandaran. Sekilas, sambil lewat, aku dapat mendengar apa yang mereka bicarakan.

“Singkirkan dia dan semuanya akan beres,” Kata Bagas.

“Pilkada tinggal lima hari lagi, Gas, aku harus cari bukti ke mana?” keluh Dian.

“Kamu kan wartawan hebat, pasti gamapng dapat buktinya.”

“Bukan masalah gampang atau tidaknya, tapi belakangan banyak orang aneh yang membututi dan menyulitkan ku.”

Aku masuk ke dalam kamar dan menutupnya rapat-rapat tanpa menguncinya. Di sini aku tidak dapat lagi mendengar apa yang dibicarakan Dian dan Bagas, ang terdengar hanyalah deru motor dan mobil yang sesekali melintasi jalan di depan rumahku. Melalui jendela kamar yang sengaja tidak aku turunkan gordennya, aku menatap kosong kea rah jalan yang tak kunjung sepi walau malam sudah selarut ini. Aku merenung dalam pikiranku, ‘apa yang sebenarnya terjadi?’.

*****

…. Kafe pelangi
Kafe Pelangi baru buka setelah tengah hari. Pemiliknya yang bernama Jolie pastilah bangun kesiangan. Semalam kafe itu adalah kafe terlaris dan paling padat pengunjungnya di antara semua kafe yang ada di kota itu. Orang-orang seperti tak henti-hentinyanya datang ke kafe sampai hujan deras datang mengguyur dan para pengunjung memutuskan untuk pulang dengan berhujan-hujanan. Setelah semua pengunjung pergi Jolie menutup kafenya dengan senyum yang teruntai di wajahnya yang kelelahan, namun puas dengan pengunjung yang datang malam itu. Sebernya Jolie malas sekali membuka kafe hari ini karena dia merasa amat sangat malas dan lelah. Hanya saja kafenya adalah kefe terbaik di kota di kota yang tak pernah sepi pengunjung dan selalu menghasilkan banyak uang, jadi Jolie merasa harus selalu membuka kafenya agar bias dapat banyak uang.
Pintu masuk kafe menderit berbunyi. Tak lama kemudian dari balik pintu muncul seorang gadis berperawakan tinggi dan kurus dengan rambut pendek berwarna coklat. “Jolie, kamu di mana ?” teriakya saat memasuki kafe. Tak ada jawaban dari Jolie. Gadis itu krmudian berjalan menuju sudut kafe, di mana di san ada sebuah pintu dari kayu yang menghubungkan kafe dengan sebuah ruangan semacam ruang kerja. Di ruang itu biasanya Jolie mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiata kafe. Mulai dari menghitung untung dan rugi kafe, bebam gaji para karyawan -yang sebenarnya merupakan teman-temannya sendiri-, daftar lau yang diputar untuk meramaikan suasana kafe, jadwal pertunjukan band-band penghibur, sampai pada tata lampu juga diatur melalui ruangan ini. Gadis itukemudian perlahan membuka pintu dan masuk ke dalamnya. Dilihatnya Jolie tenggelam dibalik meja kerjanya yang penuh dengan berbagai macam buku catatan.
“Ada apa?” Tanya Jolie sambil mendongak memandangi gadis itu.
Gadis itu memasukkan kedua tangannya ke dalam sku celananya , lalu menghirup nafas dalam-dalam. “Boleh aku pinjam uang sekali lagi?” pintanya dengan wajah memelas.
“Untuk apa? Hutangmu sebulan yang lalu sepeser pun belum kau bayar.”
“Aku inain ikut pemilihan model iklan. Uang pendaftarannya seratus ribu rupiah dan ku pikir aku harus ke salon agar terlihat lebih cantik.”
“Aku tak yakin akan menghutangimu. Kalau kamu tidak terpilih, akmu tidak dapat apa-apa kan. Bagaimana kamu akanmembayar hutang-hutangmu?”
“Aku rela bekerja di sini walau tidak di bayar.”
Jolie terdiam. Dia mempertimbangkan apa tawaran gadis itu. Mempekerjakan seseorang tanpa harus membayarnya, tetapi memakai tenaganya sebagai karyawan dan memperhitungkan hal itu sebagai sebuah bakas jasa gadis itu kepada Jolie karena telah menghutangi dirinya. Sedikit menguntungkan, pikir Jolie. Tapi dia tak dapat mempercayai gadis itu menjadi karyawannya begitu saja. Bagaimana mungkin seorang yang begitu suka berhutang tetapi belum sepeser pun membayar hutang-hutangnya dapat bekerja dengan baik. Seorang yang seperti itu adalah seorang pemalas. Seorang yang tidak dapat dipercaya. Dilihat dari penampilannya pun, gadis itu tidak member jaminan dengan baik. Penampilannya agak berantakan. Sulit untuk dipercaya seorang dengan pierching di hidung dan bibir dapat melayani pengunjung dengan baik. Seorang sepertiitu tidak pernah selalu melakukan sesuatu secara benar.
“Ku rasa aku tidak dapat mempekerjakanmu menjadi karyawanku walau pun kamu tak meminta bayaran.” Kata Jolie kemudian.
Gadis itu terdiam mendengar pernyataan Jolie. Dia tak tahu harus berkata apalagi untuk meyakinkan Jolie. Dia sendiri sebenarnya sadar bahwa tak banyak orang di dunia ini yang yakin pada dirinya. “Aku tahu. Ku rasa kau sama seperti yang lain. Tak dapat mempercayai orang aku, kan?”
Jolie mengangkat kedua bahunya. “Entahlah, tapi aku sedang sulit sekarang.”
“Maksudmu?”
“Aku juga tak tahu, yang pasti aku sedang merasa sulit untuk beberapa hal.”
“Oh, begitu. Mmmm …. Ku rasa sebaiknya aku pergi sekarang.”
Gadis itu lalu berjalan hendak ke luar. Saat mendekati pintu dan sebelum membukanya, gadis itu berhenti dan berkata, ”Semoga kamu bias mengatasi semua kesulitanmu, Jolie. Aku bersumpah akan membayar semua hutangku seandainya aku mendapat pekerjaan. Dan ku harap aku bias menjadi model iklan itu. Aku tidak terlalu buruk, kan?!”
Jolie tersenyum hambar. Dia malas mengakui bahwa gadis itu limayan manis. Sejenak, Jolie menatap kasihan kasihan pada gadis itu. Mengapa dia tidak berpikir untuk mencari pekerjaan yang lebih menjajikan dari pada terlalu berharap dari audisi seperti itu.
Tiba-tiba sebuah pikiran mengetuk hatinya. Gadis itu yang salah atau dia yang tidak berperi kemanusiaan, tidak mau member kesempatan pada gadis itu? Kalau dia katakan hal ini pada ibu, adik atau pun teman-temannya, mereka pasti akan berkata ‘jangan menilai sesuatu dari penampilnnya’.

Chapter 4 : Yang Ku Duga dan Yang Ku Lihat
Setelah hujan reda, aku pulang ke rumah dengan menaiki motor matic kesayangan ku. Sebenarnya, tak ada yang tahu bahwa diam-diam aku member nama motor ku ini si Putih. Nama yang biasa, hanya karena warna motorku itu putih. Jalanan masih basah dan terlalu licin intuk mengebut saat ini. Aku menjalankan motorku secara pelan sehingga aku dapat memperhatikan aegala sesuatu yna dapat menarik perhatiaanku saat itu. Poster dan spanduk pesera pilkada terpasang di berbagai tempat. Di sebuah baliho yang berdiri di pembatas jalan, ak melihat wajah ayah Bella tersenyum, namunwajahnya kotor dengan noda-noda yang tidak seharusnya ada di situ. Aku tidak tahu noda apa itu dan perbuatan siapa, mungkinkah ini perbuatan orang-orang yang membencinya? Mungkinkah mereka membecinya karena dipicu berita yang ditulis Dian? Setelah melewati baliho itu, ak mencoba untuk tidak memperdulikannya, namun mengacuhkannya malah mengacaukan pikiranku.
Kita membutuhakan pemimpin yang dapat Kita percaya
Kita butuh pemimpin yang jujur

Aku baru tahu ada yang berkampanye di daerah sini, tidak jauh dari tempat aku mengenderai motorku, di sebuah lapangan kosong. Jalan yang melalui lapangan itu jadi macet karena banyak orang yang berdiam di pinggir jalan untuk menyaksikan kampanye.
Kita butuh pemimpin yang bias mengatur provinsi Kita dengan baik
Si juru bicara kampanye terus berbicara keras melalui megaphone mengucapkan kalimat-kalimat khas kampanye yang dapat membujuk siapa saja agar memilih orang yang dikmpanyekan. Bagi ku itu tidak berarti apa-apa karena setiap orang yang berkampanye selalu seperti itu, berjanji manis sebisa mungkin dan menepatinya kalau bisa. Diam-diam aku mendengarkan visi dan misi yang ditawarkan oleh si calon gubernur walaupun aku tidak tahu siapa yang berkampanye di situ. Kemudian saat aku melintas di depan lapangan tempat kampanye tersebut berlangsung, aku dapat mengetahui siapa yang berkampanye di lapangan itu. Kandidat calon gubernur lain, lawan ayah Bella, sedang berdiri di tengah panggung menyerukan visi dan misinya. Namun ada hal lain yang menarik perhatianku. Aku seperti mengenal sesosok pria yang berdiri di samping calon gubernur dengan pakaian perlente yang terlihat sangatpas di tubuhnya yang tinggi. Dia mengepalkan tangannya ke atas di sertai dengan sorak-sorai peserta kampanye. Aku memicingkan mata, mencoba mengenalinya dan meyakinkan diriku sendiri bahwa dia adalah orang yang benar-benar aku kenal.
BRUKK.
Aku tersungkur jatuh di atas aspal dengan posisi motorku menindih kaki kiriku. Untungnya aku jatuh tidak mengenai motor di sampingku yang dikenderai seorang ibu tua. Kalau aku jatuh mengenainya, mungkin dia akan jatuh ke samping dan mengenai pengendara motor yang ada di sampingnya, sampai seterusnya. Aku mencoba berdiri dan kembali menaiki motorku sendiri. Betapa malunya aku saat menyadari bahwa tadi aku menabrak mobil yang berjalan pelan di depanku gara-gara aku sibuk berusaha mengenali pria perlente itu. Sudahlah, dan aku berusaha untuk memberikan ekspresi yang tidak berlebihan kepada orang di sekitarku yang dapat ku rasakan sedang memandangi ku. Sebisa mungkin aku mencoba untuk cepat-cepat keluar dari kemacetan ini dan aku memutuskan memikirkan pria perlente itu di rumah saja bersama Dian nanti.
*****

Chapter 3 : Darah Persaudaraan
Hari ini aku sama sekali tidak bertemu dengan Bella. Aku tak melihat batang hidungnya sejak tadi pagi sampai kuliah habis di siang hari yang berhujan. Aku tidak tahu apa yang terjadi, mungkin Bella sakit atau dia ada urusan penting yang sangat tidak bias ditinggalkan sehingga dia tidak masuk hari ini. Aku sempat berpikir Dian memuat sebuah atrikel tentang apa yang aku bicarakan tadi malam, dia bias jadi tidak siap namanya disebut-sebut.
Aku sedang asyik menikmati mi ayamku di kafetaria kampus bersama Metha dan Ale, teman baik ku, ketika Rian datang sambil melambaikan koran ke arah ku. Dia mendorong Aria, menyuruhnya bergeser ke samping agar dia bias duduk berhadapan dengan ku. Aku berlagak saja tidak peduli dengan kedatangannya. Aku sudah tahu dia pasti akan membahas artikel tentang skandal calon Gubernur yang ditulis Dian di koran itu.
“Kakakmu dibayar berapa, sih, sampai dia mau menulis artikel tentang ayahnya Bella?” kata Rian sambil membuka koran di hadapanku lau menujuk-nunjuk sebuah artikel dengan judul, ‘Calon Gubernur Gelapkan Pajak Penghasilan’.
Aku segera merebut koran itu dari Rian dan membaca seluruhnya isi artikel tersebut. Inti tentang artikel itu kurasa aku sudah tahu sejak tadi malam, namun yang paling menarik minat ku saat ini adalah mencari tahu apa Dian memuat apa yang aku ceritaka tentang Bella tadi malam. Ternyata Dian tak memuat sedikit pun tentang Bella. Ada rasa bersyukur dalam hati ku, sungguh aku tidak ingin ada masalah yang timbul antara kami berdua. Suadah cukup perasaan seperti kemarau panjang yang selalu terasa saat kami berdekatan.
“Pilkada sudah dekat dan beritanya semakin menjadi-jadi.” Lanjut Rian.
“Inikan kebenaran yang harus diungkapkan dia belum jadi Gubernur saja, sudah banyak merugikan Negara, apalagi kalau jadi Gubernur.” Kata ku membalas komentar Rian.
“tapi, El, hal ini terang banget seperi usaha untuk menjatuhkandia.”
Aku tersenyum, teringat berita tentang ini yang sering muncul di TV. “Di TV, dia juga bilang begitu.asal tahu aja, ya, Dian itu bukan orang yang suka memanfaatkan pekerjaannya untuk menjatuhkan orang lain.”
“Tapi Cuma koran ini yang selalu mengusut skandal ini.” Rian menunjuk-nunjuk nama koran sambil melotot kea rah ku. Sebenarnya dia tak perlu melotot seperti itu, karena matanya memang sudah besar walau tidak sedang melotot. “Lagi pula, kenapa cuma dia yang jadi penulis tunggal berita ini?”
“Dian itu orangnya konsisten, kalau sudah mulai dari A berarti akhirnya harus sampai Z.” Jawabku membela Dian. Aku muak dengan komentar seperti itu dan terpaksa balas berkomentar seperti ini setiap kali pembicaraan seperti ini berlangsung. Aku mati-matian membela Dian sebisa ku, karena dia adalah kakak ku. Aku rasa dia tidak akan melakukan hal yang ‘kotor’ sekalipun untuk mendapatkan kesenangan tingkat tinggi. Hiduo bersma dengannya selama hampir dua puluh satu tahun, besar di keluarga yang sama dengan didikan yang sama dari orang tua, aku rasa aku tahu Dian itu seperti apa. Karena kami mirip dalam hampir setiap tindakan.
*****

Chapter 2 : Bella
Dian pulang tengah malam lagi hari ini. Sejak berurusan dengan skandal si calon Gubernur dia selalu pulang tengah malam karena asyik mencari informasi-informasi yang berkaitan dengan skandal tersebut. Dia baru tiba di rumah jam setengah satu pagi . aku menunggu kedatangannya sambil menonton berita tengah malam di televise. Saat Dian datang, dia masuk tergesa-gesa ke dalam rumah dan tampak sedikit agak panik. Aku yang membukakannya pintu seperti tak digubris dan dia langsung masuk ke ruang tengah dan mengeraskan volume suara televisi. Aku mengikutinya dari belakang dengan penuh rasa kebingungan.
“Aku curiga ada yang mengikutiku.” Jelas Dian. Dia menghempaskan diri duduk di sofa dan bersandar dengan kelelahan yang menghantui wajahnya. “Tadi orang di kantor bilang ada orang-orang yang tak jelas yang sering mondar-mandir di sekitar kantor. An mobil Jeep tadi mengikutiku cukup lama, bahkan sampai ke sini. Setahuku tak ada orang di sekitar komplek sini yang punya mobil Jeep seperti itu.”
“Hah? Maksud mbak Dian, mbak dibuntutin?” tanyaku heran.
“Ya, bisa jadi. Dia kan orang kaya, menyewa pembunuh apa sulitnya.”
“Maksud mbak, si calon Gubernur yang sedang mbak usut kasusnya itu? Mbak ada-ada aja. Terlalu ekstrim menyewa pembunuh, mungkin cuma preman yang diupah buat menakut-nakuti mbak.
“Kalau dia berani bunuh aku, hidup dia akan semakin tambah kacau. Skandal dia sudah terbongkar kemana-mana.” Dian tersenyum hambar. “Besok malam dia tak akan bias tidur dengan tenang, aku dapat informasi baru yang pasti akan heboh….” Dian berhenti bicara dan mengeraskan volume televisi.Aku tahu maksud tindakannya itu, dia sengaja melakukannya untuk mengelabui seandainya ada yang menguping pembicaraan kami saat itu agr tidak mendengar dengan jelas apa yang kami bicarakan. “…aku curiga dia melakukan penggelapan pajak yang sangat besar.”
“Hah?” aku melongo karena terlalu terkesima mendengar apa yang dikatakan Dian. “Yakin atau Cuma sekedar curiga?”
“Aku yakin, El. Sekitar seminggu ini, menjelang pilkada, ada Auditor Independen yang mengaudit kekayaan para kandidat sebelum pemilihan. Dia kan pengusaha yang punya berbagai macam jenis usaha, begitu juga istrinya, mana mungkin hanya kena PPh 10 %.”
“Bukannya dia punya usaha tetap pembuatan kapal di daerah Makassar, kalu sedang lari penghasilannya bias sampai milyaran rupiah pertahun. Selain itu, seingatku, dia juga punya saham di salah satu hotel di Bali dan Malaysia dengan nilai saham preferen yang sangat besar.”
“Kamu tahu dari mana, El?”
“Jangan pikir anaknya yang bernama Bella itu tutup mulut soal kekayaannya.”
“Oh, maksud kamu Bella yang satu angkatan dengan kamu itu kan. Memangnya dia seperti apa?”
“Kalau mbak Tanya sama saya, saya dengan senag hati akan menjawab. Dia itu orang byang bangga dengan kekayaannya, senang pesta pora, arogan. Pokoknya dia itu mirip sama remaja kaya yang sering ada di sinetron di aTV, deh.” Aku tak tahu lagi harus mendiskripsikan Bella seperti apa. Membayangkan wajahnya saja aku sudah muak. Aneh rasanya kenapa aku jadi benci padanya, padahal dia tidak pernah berbuat salah kepadaku. Tapi kalau ingat kelakuan dia, rasa benci itu muncul tanpa diundang.
“Dia pernah bilang apa tentang ayahnya?”
Aku mencoba mengingat-ingat sepanjang waktu perkenalan aku dan Bella. Pertama kali aku kenal dia adalah saat ospek kuliah. Teman-teman SMA ku banyak yang mengenalnya atau hanya sekedar tahu tentang dia, tetapi aku tidak, bahkan aku tidak peduli. Mereka menyebutnya sebagai anak pengusaha yang dapat mengahsilkan uang segudang tiap bulannya. Dia diperlakukan sangat istimewa saat ospek berlangsung waktu itu, tidak dimarahi, tidak dijemur, tidak disuruh lari-lari, dan tidak pernah dihukum. Yang aku dengar, tak ada yang berani menyentuhnya karena ayahnya member sumbangan lebih dua per tiga biaya renovasi gedung fakultas dan dia meminta balasan agar Bella ‘tak tersentuh’ di kampus. Sepertinya hal itu disetujui kedua belah pihak.
Tak pernah kusangka kami memiliki sedikit persamaan. Kami mengambil jurusan yang sama, dan parahnya lagi kami berada di kelas yang sama. Dari semester ke semester aku selalu bertemu dia, entah ini dalam atau di luar rencana,aku mencoba untuk tidak peduli. Walau selalu bertemu dia di tiap semester, kami tidak pernah jadi sahabat dan tidak sangat akrab di ruang kuliah sekali pun. Aku tidak tahu di mana letak ‘sangat beharga’ menjadi shabatnya.
Dian tiba-tiba menyenggol lututku, membuat buayar lamunan masa lalu yang ku coba rangkai kembali. Aku masih ingat apa yang dia tanyakan tadi. “Bella jarang bicara tentang ayahnya di depanku. Sejak mbak memuat artikel skandal ayahnya di koran, semuanya jadi aneh…. Tapi dia pernah bilang kalau ayahnya terpilih jadi Gubernur, dia akan traktir makan teman-temannya.”
“Kamu?” Tanya Dian ingin tahu.
Sudah pasti aku menjawabnya cukup dengan gelengan kepala.
Dian mendengus, ”Tak layak masuk berita. Coba kamu akrab sama dia.”
“Orang seperti itu namanya orang licik.” Kataku sambil pergi meninggalkan Dian menuju kamarku. Aku sangat ngantuk dan membicarakan Bella membuat kantukku semakin menjadi-jadi.
*****

STOP
Chapter 1 : masalah baru yang tak perlu
   Elsie gunawan, teman-teman biasa memanggilku El, dan jika mereka mengirim SMS kepadaku mereka lebih sering menyapaku dengan tulisan ‘L’. Umurku saat ini jalan dua puluh satu tahun dan sedang menjalani kuliah semester lima di sebuah Fakultas Ekonomi di salah satu Universitas Negri. Setengah dari orang-orang yang aku kenalk senang mengenalku dan mereka menyukaiku, seperempat yang lainnya segan terhadap diriku namun tetap membalas sapaanku saat aku menyapa mereka, seperempat sisanya malas berurusan denganku dan cenderung kearah benci untuk berurusan denganku. Aku tak tau salahku di mana, aku hanya berusaha menjadi diri sendiri.
   Aku tinggal bersama kakak perempuanku yang bernama Dian, berhubung dia juga memanggilku El, maka aku memanggilnya Di, dan dia tidak pernah protes sedikit pun. Dia kakak perempuan yang baik, dia tau bagaimana menangani orang seperti aku tanpa harus mengeluarkan banyak energi hanya untuk mengaturku supaya lebih baik. Dia juga cantik, lumayan pantas jika harus disandingkan dengan anak presiden sekali pun.
  Kami tinggal di rumah kontrakkan yang sudah tua dengan gaya arsitektur khas Belanda. Rimah itu sudah lama berdiri sejak zaman penjajahan dan pernah menjadi tempat tinggal seorang petinggi Belanda. Sekarang rumah itu bukan milik orang Belanda atau keturunannya lagi, karena rumah itu sudah dibeli oleh datuk si pemilik rumah ini sekarang. Entah bagaimana Dian bias mendapat sewaan di rumah itu, yang aku tau si pemilik rumah saat ini, Haji Abdullah, mengontrakkan rumah ini kepada kami dengan harga murah. Dian memang terkadang mempunyai kenalan luar biasa yang sering membantunya atau bahkan menyusahkannya.
Dian bekerja di bidang yang sangat dia sukai, menjadi seorang wartawan di sebuah Koran pagi ternama. Sekarang dia terkenal sebagai penguasa rubrik kota dan politik. Tak hanya dia yang senang dia menjadi seorang wartawan, aku juga senang. Lagipula aku sangat kenal kakakku itu seorang pribadi yang sangat kritis dan profesional dan rubrik apapun yang dia tangani pasti akan “OK”.
   Sejak dua hari yang lalu ada satu kekhawatiran yang menggangu aku dan kakakku. Dian memuat sebuah artikel mengenai salah satu calon Gubernur dengan skandal korupsi dan permainan hukum yang tertutup rapat. Mungkin bagi Dian ini hal biasa, namun bagiku ini sangat menggangu. Bukannya aku tersinggung dengan isi artikel itu, melainkan anak dari si calon Gubernur berskandal itu adalah temanku. Memang kami bukan teman baik, akrab, apalagi bersahabat. Ditambah lagi dengan tulisan Dian tentang skandal si calon Gubernur membuat suasana setiap kali terjadi pertemuan antara aku dan anak si calin Gubernur berskandal itu jadi seperti kemarau panjang, sangat tidak mengenakkan. Aku tidak bias menghindari pertemuan kami, karena kami satu angkatan dan berada di fakultas dan jurusan yang sama. Memang kami tidak akrab, namun aku tau banyak tentang dia.
Suasana semakin tidak mengenakkan karena setiap hari Dian memuat bukti-bukti skandal si calon Gubernur itu secara mengerikan. Berita ini menjadi sangat heboh, Koran laku keras karenanya dan orang-orang yang peduli terhadap artikel itu tau siapa penulisnya; Dian Gunawan. Si calon Gubernur berskandal itu sendiri melakukan penyangkalan besar-besaran melalui berbagai koran, tabloid, maupun majalah, bahkan saat pidato kampanyenya. Tak hanya di media cetak, wajah si calon Gubernur berskandal juga sering muncul di berita TV dan dia selalu berkata kepada wartawan seperti,”Ya, itu hanya perbuatan orang yang tidak ingin saya ikut Pilkada. Orang-orang dan berita seperti itu pasti selalu ada menjelang Pemilu, Pilkada atau bahkan Pilkades sekalipun.”
   Aku muak dengan setiap keadaan seperti ini, dimana aku jadi korban efek samping dari tulisan Dian yang selalu membuat orang ingin berkomentar.