Chapter 13 : Oh My…

Pagi ini, aku sekali lagi aku mengalami nasib yang naas.

*****

Chapter 12 : In d Morning

Aku berjalan cepat dari lapangan parkir motor menuju gedung kampus tanpa mempedulikan siapapun yang aku temui sepanjang perjalanan. Badanku terasa dingin, baju kemeja dan celana jinsku basah karena separuh perjalanan dari rumah Intan ke kampus tadi hujan rintik-rintik turun dan membasahi diriku yang tak berbekal jas hujan ataupun jaket. Di lobi kampus, aku celinguk ke sana-ke mari mencari kalau ada satu atau dua orang temanku, namun saat itu lobi sepi sekali dan hanya ada beberapa adik angkatan yang duduk-duduk di kursi lobi.

Ruangan tempat aku kuliah kali ini ada di lantai dua paling ujung sebelah timur gedung kampus. Aku tahu aku terlambat dan karenanya aku terpaksa manaiki tangga dengan sedikit berlari. Bersusah payah aku mengatur nafas dan tenagaku agar dapat ku manfaatkan seefisian mungkin supaya masih dapat terjaga sampai di ruangan nanti. Koridor di sekitar ruangan dengan sedikit berlari. Sesampainya di depan pintu, kutarik nafas panjang yang dalam. Di hadapanku sekarang berdiri sebuah pintu kokoh dari kayu yang sangat tebal dan kuat berwarna coklat. Pintu itu sedikit terbuka, celahnya sekitar dua centimeter. Seperti akan meledak saja, aku mendorong pintu itu dengan ujung kakiku sampai terbuka cukup lebar. Dapat kulihat dari luar semua orang di ruangan iu sedang duduk dengan tenang denagn kepala menunduk.

Aku lalu masuk dengan pelan ke dalam ruangan dan duduk di kursi paling belakang yang masih tersedia. Dosen mata kuliah Kepemimpinanku memang tidak marah pada mahasiswa yang terlambat, hanya saja dia selalu berkata, ”tanggung sendiri akibat keterlambatan kalian kalian.” Semua yang ada di ruanganitu tenang. Ku lirik seorang teman pria yang duduk di sebelahku, Cupluk panggilannya. Tangan kirinya menggenggam selembar kertas bertuliskan dua puluh soal. Oh tidak…. Aku lupa pagi ini ada quiz.

*****

Chapter 11 : Petir di Siang Hari

Aku tersenyum dengan manis kepada semua keluarga Intan saat mereka menjamu aku dan Dian makan siang di rumah mereka. Meja makan mereka yang bundar penuh dengan empat orang keluarga Intan ditambah aku dan Dian. Keluarga Intan yang ikut makan saat itu ada Intan, ibunya, dan dua orang adik perempuan kembarnya. Intan duduk berhadapan denganku dan ibunya duduk di sebelah kiri Intan, sedangkan kedua adik kembarnya duduk di sebelah kanannya. Dengan begitu, salah satu dari adik kembar Intan duduk di sebelah kiriku.

Aku makan dengan tenang, tanpa membuat keributan di atas piringku. Mungkin ini hanya perasaanku saja, atau memang benar, bahwa sendok dan garpu milik keluarga Intan lebih ringan disbanding punya kami dulu sehingga ketukan sendok dan garpu di atas piring tidak menimbulkan suara yang nyaring. Aku duduk rapi dengan kaki menjuntai ke bawah.

Tepat di depan piringku ada sepiring besar ayam goreng , yang memang dari tadi suda ada di situ, dan kalau ada yang ingin mengambilnya dengan senang hati aku akan menyodorkan piring besar itu untuknya dan membiarkannya mengambil. Jujur saja sebenarnya aku perlu melakukan sesuatu untuk menutupi rasa bersalahku karena menghabiskan setengah air di bak mandi mereka satu jam yang lalu. Setelah itu air ledeng mati dan belum jalan sampai sekarang.

Sebenarnya suasana makan siang berlangsung penuh dengan kehangatan dan rasa kekeluargaan. Namun aku merasa bahwa acara makan siang ini lebih mirip konferensi pers kepresidenan, dimana Dian sebagai Presiden dan keluarga Intan sebagai para wartawannya. Mereka terus saja mengajukan pertanyaan yang sahut menyahut bagai nyanyian kodok di kala hujan. Aku hanya diam mendengarkan, sambil berharap hujan ini berakhir dan kemudian dig anti oleh sinar matahari yang menghangatkan. Sambil mengunyah makanan di mulutku, aku memperhatikan Dian yang tak pernah bias diam lebih dari tiga menit dan belum menhabiskan setengah dari makanannya. Si ibu presiden itu harus menjawab denang jelas pertanyaan para wartawan mengenai ‘kenapa bisa begini? Kenapa bisa begitu? Kenapa rumah kontrakkan kami bisa terbakar? Kenapa Dian masih mau bertahan dalam kondisi seperti ini?.

“Saya rasa kebenaran memang harus diungkap,Tante,” kata Dian menjawab pertanyaan dari ibu Intan.

“Tapi sepertinya kamu terpaksa harus menghadapi banyak masalah, kan!” protes ibu Intan.

“Ya, mau gimana lagi, sudah resiko.”

“Apa kamu tidak kasihan sama orang-orang yang dekat sama kamu? Mereka kadang juga jadi sasaran balas dendam, kan.”

Aku sadar saat itu Dian melirik ke arahku sambil mengunyah makanan di dalam mulutnya.

“Sudahlah, kamu coba pikir sekali lagi tentang keselamatan oaring-orang di sekitarmu. Jangan bermain-main dengan api, dekat dengan maut.”

Aku menunduk memandangi makanan di piringku. Aku memilih tak memihak siapa-siapa kali ini, baik itu Dian atau ibu Intan. Untuk mengalihkan perhatianku dari pembicaraan Dian dan keluatga Intan, aku mengaduk-aduk makanan di piringku dengan sendok dan garpu yang ada di tanganku. Aku melakukannya secara sembarangan, namun dalam benakku ini lebih mirip dengan pertempran karate antara sendok dan garpu.

Bosan dengan semua yang aku lakukan, aku mengalihkan pikiran dengan khayalan berada di rumah kontrakkan baru yang nyaman. Tidur di kamarku sendiri senagn kasur baru dan bantal yang nyaman. Wangu teh hijau dari pengharum ruangan yang memenuhi kamarku sendiri seperti kamarku dulu sebelum kebakaran. Dan yang paling membsahagiakan adalah aku bisa lebih sering bertemu dengan teman lamaku kalau dia pulang ke rumah.

JEGEEER….

Aku tidak tahu bagaimana mendeskripsikan suara petir itu seperti apa, yang pasti aku tersentak kaget bukan main mendengar suara petir yang tiba-tiba menyambar hingga membuat garpuku terjatuh ke lantai. Setelah itu, barulah aku sadar dari lamunanku. Kuperhatikan piringku, oh…. Nasi-nasi dalam piringku berhamburan di atas meja. Semua yang ada di situ melihatku dengan ekspresi wajah kaget dan bingung versi mereka masing-masing, terlebih Dian, sedangkan akuhanya bisa memasang wajah setenang mungkin walau aku tahu wajahku saat itu leih mirip wajah orang yang sedang gugup.

*****