long journey

banyak ilungnya di sungai, apa lagi jaman dulu pas saya masih SD , sekarang sih udah gak sebanyak dulu lagi kira2....
ada jembatan tua yang udah rusak... jembatan yang di lewatin mobil aja udah menakutkan..





banyak kapal batu baranya..



berhubung teman saya pergi ke
marabahan,, saya jadi ingat kepergian sya beberapa bulan yang lalu ke margasari. perjalanan menggunakan kelotok dari marabahan ke margasari yang memakan waktu sekitar 2 jam yang lama aaaa banget.. mana cuaca sama sekali tidak cerah,, jadi pemandangan yang di foto juga kurang cerah juga dengan awan yang hitam.

ini dia jembatan rumpiang

Title Fields Of Gold Artist Sting Album Ten Summoner's Tales (1993)


You'll remember me when the west wind moves
Upon the fields of barley
You forget the sun in his jealous sky
As we walk in fields of gold

So she took her love
For to gaze awhile
Upon the fields of barley
In his arms she fell as her hair came down
Among the fields of gold

Will you stay with me, will you be my love
Among the fields of barley
You forget the sun in his jealous sky
As we lie in fields of gold

See the west wind move like a lover so
Upon the fields of barley
Feel her body rise when you kiss her mouth
Among the fields of gold

I never made promises lightly
And there have been some that I've broken
But I swear in the days still left
We'll walk in fields of gold
We'll walk in fields of gold

Many years have passed since those summer days
Among the fields of barley
See the children run as the sun goes down
Among the fields of gold

You'll remember me when the west wind moves
Upon the fields of barley
You can tell the sun in his jealous sky
When we walked in fields of gold
When we walked in fields of gold
When we walked in fields of gold


huhhh,, marketing marketing..
lelah otak ini setelah ngejawab soal midtes marketing...

well biar yang saya dapat juga bisa di dapat sama orang lain, saya ingin membagi sedikit tambahan wawasan untuk anda agar anda bisa menyediakan keuangan anda dan mengetahui kondisi orang di sekitar anda..

William D. Wellas & George Gubar
"Life-Cycle Concepts in Marketing Research "
jurnal of marketing reseach, November 1966, hal 362

  1. Tahap bujangan ; muda, bujangan yang tidak tinggal bersama dengan orang tua.>> sedikit bahan keuangan, pelopor opni mode busana, berorientas pada rekreasi. membeli : alat2 dapur dasar,, furniture, mobil, perlengkapan untuk mencari pasangan, hiburan.
  2. Pasangan yang baru menikah muda, belum mempunyai anak. >> memiliki tingkat pengeluaran tertinggi & pembelian rata2 barang tahan lama tertinggi. membeli : mobil, perlengkapan rumah tangga, furniture, liburan.
  3. Sarang penuh I: anak berumur di bawah 6 tahun. >> pembelian untuk keperluan rumah tangga berada di titik puncak, likuiditas aktiva rendah. tertarik pada produk2 baru yang diiklankan. membeli : mesin cuci, mesin pengering, TV, makanan bayi, balsem, obat, vitamin, boneka, mobil wagon, kereta luncur & papan kuncur.
  4. Sarang penuh II : anak bungsu berumur 6 tahun atau lebih. >>posisi keuangan lebih baik. kurang terpengaruh oleh iklan. membeli barang dalam kemasan yang lebih besar dan jumlah yang lebih banyak. membeli : banyak makanan, bahan2 pembersih, sepeda, les musik piano.
  5. Sarang penuh III : pasangan suami istri tua dengan anak2 yang belum mandiri. >> posisi keuangan masih baik. bebebrapa anak sudah bekerja . sukar dipengaruhi oleh iklan. tingkat pembelian rata2 tinggi atas barang tahan lama. membeli: furniture baru yang lebih berkelas, perjalanan dengan mobil, alat2 rumah tangga yang tidak diperlukan, perahu, perawatan gigi, majalah.
  6. Sarang kosong I : pasanagn suami istri tua, tidak ada anak yang tinggal bersama mereka, kepala rumah tangga masih bekerja. >> harta rumah tangga berada di titik puncak.sebagian besar puas dngan posisi keuangan dan uang yang ditabung.tertarik pada perjalanan, rekreasi, pendidikan swakarsa. memberikan hadiah dan sumbangan. memebeli : liburan, barang2 mewah, perbaikan rumah.
  7. Sarang kosong II : pasangan suami istri tua. tidak ada anak yang tinggal bersama mereka, kepala rumah tangga pensiun. >> penghasilan turun drastis. berdiam dirumah. membeli :alat2 kesehatan, poduk perawatan kesehatan.
  8. Hidup sendirian dalam angkatan kerja. >> penghasilan masih baik namun ada kemungkinan harus menjual rumahnya.
  9. Hidup sendiri pensiun. membutuhkan obat dan produk yang sama dengan kelompok pensiun lain.
untuk anda yang mungkin seorang pemasar, anda bisa menyediakan produk anda bagi orang2 sesuai dengan life cycle tersebut di atas.

Hah?? rumah dibelah dua?? saya kaget banget pas pertama kali denger si pemabawa acara PERISKOP di metro TV (saya nontonnya baru tanggal 15, beberapa menit sebelum jam enam pagi) nyebutin berita apa yang akan mucul selanjutnya.
emangnya bisa gitu rumah di belah dua??

Ternyata emang bener. Di suatu daerah di Kamboja ada sepasang suami istri yang cerei. nah,, karena si istri tidaklah sanggup membayar tunjangan perceraian maka rumah yang semula mereka tempati bersama di potong -digergaji- oleh sang suami.. wah HEBAT ya... biaya perceraian di kamboja emang mahal jaaaaaaaaar..

saya mikirnya gini lho, tuh rumah sudah cukup aneh karena cuma ada bangunannya separo,, yang bikin saya mikir itu gimana nasib rumah yang separonya lagi?? mungkin gini, setelah si suami ngebelah rumah itu rumah itu dipindahin ke tempat lain. caranya? mungkin bagian demi bagian rumah itu dipisahkan satu persatu lalu kemudian disambung lagi, hah?? emangnya mainan bongkar pasang?1

sayang liputannya nggak nayangin nasib 'belahan' rumah yang satunya....

wah,, untung saya orang Indonesia, kalo enggak musti mikir berkali-kali kalo mau merried..

adekkkkkkkkkkkk kuuuuuuuuuuuuu

Anak kecil zaman sekarang sombooong,, kecil2 udah mainan HP !
Coba pas gw masih kecil dulu, bisanya cuman mainan ajakan tukup alias petak umpat, dolanan, nyanyi kaya gini nih

cuk-cuk bimbi
bimbi dalam serunai
tecucuk tekulibi
muhanya kaya panai
ato kaya gini
pak amat jualan tomat
yang beli harus hormat
bla bla bala
baka baka bala

ato juga

rambo-rambo
rambo raja tembak
rocky-rocky
rocky raja tinju
takabul-takabul
pingsut
ye.. gw ngingat lagi masa kecil dulu.

Gini lho yang pengen saya omongin itu adalah perbedaan dunia yang terjadi pada anak2 zaman zekarang dan zaman dulu. Anak zaman zekarang lebih memperangkapkan dirinya pada teknologi seperti HP, PS, dan barang mainan lainnya yang bersifat elektronik. Alhasil (menurut pengamatan saya terhadap adik saya sendiri yang saya jadikan korban penelitian tanpa saya bayar) anak2 menjadi kurang kepeduliannya terhadap sesama, penyebabnya adalah jarang bergaul. Banyak game yang juga ngajarin kekerasan dalam gamenya, hoa gak baik nih...masak anak kecil di ajarin tembak2an?? bertantem ala mahluk aneh dengan otot besar??? ngebut di jalan tabrak sana tabrak sini???

mari kita jaga anak2 kecil, anak kamu, anak saya, anak siapa aja,, dari perbuatan jelek yang melunturkan nilai luhur kemanusiaan. Dunia anak adalah dunia bangsa di masa depan...
hahaaaaaaaaaaa saya sedih kaslo adek saya jadi nakal... tapi saya kan kakak yang baik jadi Insya Allah adek saya juga baek ntar.. Amin.......

tentang Balada Sungai Musi

pada suatu hari di saat kebosanan tengah melanda, saya menerik sebuah kardus (aslinya itu kardus mie,, tapi isinya sih bukan mie). Dari dalam kardus itu saya mengambil sebuah novel, novel jadul jadul jadul. karena hampir semua novel jadul itu sudah saya baca semua jadi saya perlu ngutak-ngatik tumpukan novel itu sekali lagi buat nyari novel yang belum kebaca. setelah perjuangan yang tanpa menitikkan pertumpahan darah sedikit pun akhirnya nemu juga sebuah novel dengan judul BALADA SUNGAI MUSI karya Marga T. waduhh dari judulnya aja udah jadul banget.. saya buka lembar pertama, lapisan sampul, halaman kedua isinya keterangan ini dan itu... ternyata buku ini adalah karya Marga T pertama hasil dari sayembara dari Balai Pustaka tahun 60-an. gila boooo,,, umur segitu gw belum ada bayangan lahir kedunia. wow, balai pustaka, hmmm waktu itu sama sekali bukan zaman si Gramedia Pustaka.
cukup komentar tentang betapa tua novel itu. saya langsung membaca halaman perhalaman novel itu dengan penuh penghayatan, karena novel itu menggunakan bahasa Indonesia zaman dulu yang masih kental gaya melayunya yang waaaaaaaaaaahhh saya mikir dulu baru bisa paham. ada kira2 5 tokoh yang dijadikan sentral dalam novel itu,, saya ngitungnya dari orang yang sudut pandangnya diambil secara dominan oleh penulisnya.

Novel ini di bagi menjadi dua bagian. bagian pertama menceritakan perjuangan Indonesia, dan bagian kedua menceritakan tentang keadaan yang di alami oleh tokoh2 dalam novel itu.

Kalau saya ini Mira Lesmana atau Nia Dinata, saya pasti akan memfilmkan Novel ini, soalnya bagus bangeeeet

ada cerita keluarga, persahabatan, perjuangan, cinta..

oh... pokoknya saya terkesima..

saya lupa apa saya sampai berlinang-linag air mata saat baca ayat2 cinta yang jadi salah satu novel best seller itu..

Chapter 15 : Yang Tak Pernah Aku Pinta

DUKK.

Ale menendang kakiku di bawah meja. Dia memperingatkanku untuk berhenti menatap Bella secara berlebihan seperti itu. Aku kemudian membuang mukaku dan lebih memilih untuk memandangi pemandangan gedung kampus dari kantin. Hatiku terasa terbakar saat melihat wajah Bella, sekalipun hanya salah satu dari bagian tubuhnya saja.

Tak lama setelah itu pesanan kami datang. Ale segera menyantap makanannya dan aku langsung mencoba mengabiskan minumanku secepat mungkin. Aku ingin sesegera mungkin pergi dari sini. Ini pertama kali aku benar-benar ingin minggat dari lingkungan kampus.

Sementara itu Bella dan teman-temannya terus menerus mengoceh membicarakan sesuau. Sepintas yang aku dengar mereka membicarakan tentang sebuah butik yang sedang sale besar-besaran dan mereka berencana ke sana. Telingaku terasa gatal mendengarkan pembicaraan mereka. Tiba-tiba aku teringat apa yang diajarkan Dian padaku. Sebenarnya ini bukan ajaran yang baik, tapi kadang berguna. Dian mengajarkan aku untuk mendengarkan dengan baik pembicaraan orang yang ada di sekitarku, singkat kata ‘menguping pembicaraan orang lain’. Setiap orang yang berbicara nyaring berarti membiarkan orang lain mengetahui apa yang dia bicarakan. Sedangkan orang yang tak ingin orang lain tau apa yang dia bicarakan sudah pasti akan membicarakannya dengan suara sepelan mungkin. Jadi tak ada salahnya menguping pembicaraan orang kalau dia berbicara dengan keras.

“Aku bakal beli baju yang dipajang di manekin etalase butik itu. Pasti keren,” kata Bella sambil tersenyum.

“Pasti mahal, deh, kan barang baru,” sahut temannya yang berambut merah yang saat itu duduk berhadapan dengan Bella.

Senyum Bella semakin merekah lebar. Sejenak dia melirik ke arahku, namun aku pura-pura tidak menyadarinya.

“Nggak masalah. Yang penting barangnya bagus. Ntar kita borong barang yang sale deh.”

“Tumben…,” kata satu temannya yang duduk di sebelah kanannya.

“Lagi happy aja.”

Aku berpikir keras. Mungkinkah ini ada hubungannya dengan kejadian yang menimpa aku dan Dian. Dia sangat bodoh kalau memang benar begitu, karena dia gampang sekali membuat aku curiga.

“Happy kenapa, sih? Nggak bagi-bagi cerita deeh.”

Bella hanya tersenyum mendengar pertanyaan temannya itu. Dia melirik ke arahku sambil terus tersenyum dengan bahagianya. Bibirnya yang merah semakin merekah dan pipinya tertarik dengan kencang. Cantik, cantik, cantik.

Aku bersumpah aku membenci dia dengan sepenuh hatiku mulai dari saat ini.

Perasaan ini mungkin terlalu berlebihan, tapi ini lah yang aku rasakan di dalam hatiku. Kalau sampai kejadian yang terjadi tempo hari di kontrakkan ku karena ulahnya, aku tidak akan mencari-cari alasan lain untuk membalas perbuatannya.

Tanpa aku sadari Ale sudah menghabiskan makanannya. Piring dihadapannya tersapu bersih dari lontong dan sambal sate, begitu juga dengan satenya. Gelas berisi air teh es juga kosong melompong dengan hanya menyisakan es batu yang mencair. Tapi selahap apapun dia makan, keadaan meja di situ tetap bersih dan rapi, tak ada butir-butir nasi lontong yang berhamburan di sana. Aku hanya tersenyum saat melihatnya. Aku bangga mempunyai teman seperti dia, meskipun agak berantakan, tapi dia nggak malu-maluin di tempat umum.

“Satu batang dulu, ya , Di,” pinta Ale sambil mengeluarkan sebatang rokok dari sakunya.

Dia lalu menyalakan api dan membakar ujung rokoknya. Sebatang rokok harga menengah dengan rasa menthol alami. Asap-asap yang mengepul mulai keluar dari mulutnya. Beberapa diantaranya dia keluarkan dengan bentuk bulat-bulat. Sekitar lima belas menit dia merokok seperti itu sampai akhirnya dia menjatuhkan rokok itu kelantai dan menginjaknya sampai hancur. Ini sudah jadi kebiasaanya satiap kali selesai merokok. Katanya ini merupakan bentuk sumpah serapahnya terhadap rokok yang sudah merusak organ dalam tubuhnya. Dia sangat tahu akibat buruk yang ditimbulkan rokok, namu dia mengalami ketergantungan yang membuatnya tidak bisa melepas kebiasaan merokok sejak kelas tiga SMP.

Aku merasa lega saat Ale berhenti merokok saat itu. Aku bisa bernafas dengan lega dan menghirup udara segar lagi. Dan aku lebih lega lagi saat kami berdua pergi meninggalkan kantin. Aku tak perlu harus mendengar suara dan melihat wajah Bella tanpa aku minta.

Chapter 14 : Cantik…

Aku manarik nafas dalam-dalam saat keluar ruangan. Kuliah hari ini akhirnya selesai dengan segala kekacauan yang mewarnai pagiku. Pagi tadi aku terlambat dan basah kuyup gara-gara hujan. Selama beberapa detik aku menyalahkan kedatanganku pagi ini. Kenapa aku tidak masuk kuliah saja? Hari ini kan masih dapat dihitung sebagai hari berkabung mengingat kemarin pagi rumah kontrakkan kami terbakar.

“Hei…”

Aku kaget saat seseorang menepuk pundakku daribelakang. Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba saja merinding karenanya. Aku langsung menoleh ke belakang. Sayangnya orang yang menepuk pundakku itu jauh lebih tinggi daripada aku, sehingga aku harus mendongak untuk melihat wajahnya. Mendongak berarti melihat ke atas, dan itu butuh tenaga. Aku pasti akan terlihat bodoh kalau mendongak terlalu tinggi. Aku lalu memilih untuk menoleh ke belakang tanpa harus mendongak.

Ku lihat orang di belakangku itu memakai T-shirt berwarna hitam yang dipasangkan dengan celana jins butut. Dia memakai sepatu Converse dengan motif tambalan. Orang yang kukenal yang seperti itu cuma Ale. Dan celana jins butut itu membuat dia mendapat julukan sebagai Mr. Butut. Aku berani taruhan harga jins itu saat dibeli dulu cukup mahal, makanya Ale sangat saying dengan celana itu dan masih suka dia pakai walau warnanya sidah mendekati putih. Dia adalah orang yang rela menabung untuk membeli barang yang dia sukai.

Sebenarnya tidak banyak hal menarik yang dapat kuceritakan tentang Ale. Wajah maupun gayanya belum mampu membuat dia untuk pantas menyandang gelar ‘Prom Prince’ sekalipun. Jadi aku tidak pernah memuji secuil ketampanan yang dia miliki. Kulitnya putih, rambutnya hitam dengan gaya awut-awutan, alisnya cukup lebat, matanya OK, dan dagunya khas dagu lelaki, hampir menempel dengan leher. Namun dari semua itu, wajahnya sedikit terganggu degan jerawat-jerawat kecil yang mengiasi jidatnya. Dia bukan mahasiswa dengan segudang prestasi, juga bukan mahasiswa pengangguran yang tanpa kegiatan. Dia sering ikut kegiatan di semacam event organizer, kadang juga dengan sukarela menjadi volunteer. Walau begitu, dia adalah salah satu teman baikku yang sama-sama stress. Sudah sekitar dua tahun lebih aku mengenalnya dengan baik dan aku merasa cukup nyaman berteman dengan orang macam dia walaupun dia bukan tidak terlalu dapat diandalkan saat final test.

“Aku kira kamu bakal nggak masuk hari ini, El.”

“Maunya sih nggak masuk. Aku juga berencana pengen liat-liat bakal rumah kontrakkan yang baru, Le.”

“Udah dapat rumah kontrakkan baru? Cepet banget! Di mana?”

“Dekat sama rumah yang lama, kok. Malah dekat sama rumah teman aku. Ya… kamu tau lah siapa yang aku maksud.”

“Si ‘Dia’? yang jahat itu kan.”

“Ya terserah kamu lah mau bilang dia itu apa. Tapi kan enak kalau nanti aku jadi tinggal di sana, jadi aku sudah langsung punya kenalan.”

“Iya juga sih. Jadi berapa hari ini kamu tinggal di mana?”

“Di rumah Intan, teman mbak Dian.”

“Enak tinggal di sana?”

“Nggak puas mandi. Air ledeng daerah sana sering macet.”

“Lu kata jalan raya.”

Aku langsung tersenyum dengan sedikit tertawa mendengar ucapan Ale barusan. Aku mungkin akan hidup bahagia seumur hidup kalau setiap detik dalam hidupku dapat tertawa seperti ini.

“Lapar nih, Chuy. Ke kantin, El.”

Aku berjalan di belakang mengikuti Ale menuju kantin yang letaknya ada di halaman samping kampus. Sepanjang perjalanan hampir semua orang yang berpapasan dengan kami menatapku dengan berbagai ekspresi. Sudah kuduga akan seperti ini keadaannya. Masing-masing di antara mereka mungkin berpikiran seperti ini, ‘ini ya, Elsie Gunawan. Kasihan ya rumahnya terbakar.’

Aku bersyukur dengan setulus hati ketika sudah sampai di kantin, dan lebih bersyukur lagi karena kantin sepi saat itu. Ale memilih tempat duduk di meja yang tepat berada di bawah kipas angin yang menggantung di langit-langit kantin. Dia lalu memesan makanan kesukaannya, sate, jumlahnya sepuluh tusuk lengkap dengan ketupatnya. Aku belum merasa lapar, yang aku pesan hanya segelas jus alpukat dan berharap semoga bisa menambah berat badanku.

Belum genap lima menit aku berada di kantin dengan suasana tenang, tiba-tiba masuk serombongan perempuan yang sudah tidak asing bagiku. Mereka berjumlah enam orang. Semuanya berbadan proporsional dengan rambut panjang terurai, dua di antara mereka berambut disemir coklat dan satu lainnya disemir merah. Di tengah rombongan ada Bella yang berambut hitam lurus. Mereka duduk tak jauh dari kami. Dari tempatku duduk, aku berhadapan dengan Bella yang duduk tepat menghadap ke arahku. Sejenak dia memandangku dan kemudian kembali memalingkan mukanya kepada teman-temannya.

Seumur hidup, baru kali ini aku berhadapan dengan Bella sampai dapat melihat wajahnya dengan sangat jelas. Wajahnya bagai terbentuk dari tulang wajah yang dipahat dengan keras sehingga membentuk dengan jelas sruktur wajahnya. Matanya dalam dan berwarna coklat cerah. Kulitnya putih bersih dengan kulit wajah yang putih berseri. Tak ada satu hal pun yang dapat dicela dari fisiknya, semuanya serba sempurna. Bukan sesuatu yang mengherankan mengenai kesempurnaanya itu, dia punya apapun yang dibutuhkan untuk menjadi cantik, terlebih uang.

Chapter 13 : Oh My…

Pagi ini, aku sekali lagi aku mengalami nasib yang naas.

*****

Chapter 12 : In d Morning

Aku berjalan cepat dari lapangan parkir motor menuju gedung kampus tanpa mempedulikan siapapun yang aku temui sepanjang perjalanan. Badanku terasa dingin, baju kemeja dan celana jinsku basah karena separuh perjalanan dari rumah Intan ke kampus tadi hujan rintik-rintik turun dan membasahi diriku yang tak berbekal jas hujan ataupun jaket. Di lobi kampus, aku celinguk ke sana-ke mari mencari kalau ada satu atau dua orang temanku, namun saat itu lobi sepi sekali dan hanya ada beberapa adik angkatan yang duduk-duduk di kursi lobi.

Ruangan tempat aku kuliah kali ini ada di lantai dua paling ujung sebelah timur gedung kampus. Aku tahu aku terlambat dan karenanya aku terpaksa manaiki tangga dengan sedikit berlari. Bersusah payah aku mengatur nafas dan tenagaku agar dapat ku manfaatkan seefisian mungkin supaya masih dapat terjaga sampai di ruangan nanti. Koridor di sekitar ruangan dengan sedikit berlari. Sesampainya di depan pintu, kutarik nafas panjang yang dalam. Di hadapanku sekarang berdiri sebuah pintu kokoh dari kayu yang sangat tebal dan kuat berwarna coklat. Pintu itu sedikit terbuka, celahnya sekitar dua centimeter. Seperti akan meledak saja, aku mendorong pintu itu dengan ujung kakiku sampai terbuka cukup lebar. Dapat kulihat dari luar semua orang di ruangan iu sedang duduk dengan tenang denagn kepala menunduk.

Aku lalu masuk dengan pelan ke dalam ruangan dan duduk di kursi paling belakang yang masih tersedia. Dosen mata kuliah Kepemimpinanku memang tidak marah pada mahasiswa yang terlambat, hanya saja dia selalu berkata, ”tanggung sendiri akibat keterlambatan kalian kalian.” Semua yang ada di ruanganitu tenang. Ku lirik seorang teman pria yang duduk di sebelahku, Cupluk panggilannya. Tangan kirinya menggenggam selembar kertas bertuliskan dua puluh soal. Oh tidak…. Aku lupa pagi ini ada quiz.

*****

Chapter 11 : Petir di Siang Hari

Aku tersenyum dengan manis kepada semua keluarga Intan saat mereka menjamu aku dan Dian makan siang di rumah mereka. Meja makan mereka yang bundar penuh dengan empat orang keluarga Intan ditambah aku dan Dian. Keluarga Intan yang ikut makan saat itu ada Intan, ibunya, dan dua orang adik perempuan kembarnya. Intan duduk berhadapan denganku dan ibunya duduk di sebelah kiri Intan, sedangkan kedua adik kembarnya duduk di sebelah kanannya. Dengan begitu, salah satu dari adik kembar Intan duduk di sebelah kiriku.

Aku makan dengan tenang, tanpa membuat keributan di atas piringku. Mungkin ini hanya perasaanku saja, atau memang benar, bahwa sendok dan garpu milik keluarga Intan lebih ringan disbanding punya kami dulu sehingga ketukan sendok dan garpu di atas piring tidak menimbulkan suara yang nyaring. Aku duduk rapi dengan kaki menjuntai ke bawah.

Tepat di depan piringku ada sepiring besar ayam goreng , yang memang dari tadi suda ada di situ, dan kalau ada yang ingin mengambilnya dengan senang hati aku akan menyodorkan piring besar itu untuknya dan membiarkannya mengambil. Jujur saja sebenarnya aku perlu melakukan sesuatu untuk menutupi rasa bersalahku karena menghabiskan setengah air di bak mandi mereka satu jam yang lalu. Setelah itu air ledeng mati dan belum jalan sampai sekarang.

Sebenarnya suasana makan siang berlangsung penuh dengan kehangatan dan rasa kekeluargaan. Namun aku merasa bahwa acara makan siang ini lebih mirip konferensi pers kepresidenan, dimana Dian sebagai Presiden dan keluarga Intan sebagai para wartawannya. Mereka terus saja mengajukan pertanyaan yang sahut menyahut bagai nyanyian kodok di kala hujan. Aku hanya diam mendengarkan, sambil berharap hujan ini berakhir dan kemudian dig anti oleh sinar matahari yang menghangatkan. Sambil mengunyah makanan di mulutku, aku memperhatikan Dian yang tak pernah bias diam lebih dari tiga menit dan belum menhabiskan setengah dari makanannya. Si ibu presiden itu harus menjawab denang jelas pertanyaan para wartawan mengenai ‘kenapa bisa begini? Kenapa bisa begitu? Kenapa rumah kontrakkan kami bisa terbakar? Kenapa Dian masih mau bertahan dalam kondisi seperti ini?.

“Saya rasa kebenaran memang harus diungkap,Tante,” kata Dian menjawab pertanyaan dari ibu Intan.

“Tapi sepertinya kamu terpaksa harus menghadapi banyak masalah, kan!” protes ibu Intan.

“Ya, mau gimana lagi, sudah resiko.”

“Apa kamu tidak kasihan sama orang-orang yang dekat sama kamu? Mereka kadang juga jadi sasaran balas dendam, kan.”

Aku sadar saat itu Dian melirik ke arahku sambil mengunyah makanan di dalam mulutnya.

“Sudahlah, kamu coba pikir sekali lagi tentang keselamatan oaring-orang di sekitarmu. Jangan bermain-main dengan api, dekat dengan maut.”

Aku menunduk memandangi makanan di piringku. Aku memilih tak memihak siapa-siapa kali ini, baik itu Dian atau ibu Intan. Untuk mengalihkan perhatianku dari pembicaraan Dian dan keluatga Intan, aku mengaduk-aduk makanan di piringku dengan sendok dan garpu yang ada di tanganku. Aku melakukannya secara sembarangan, namun dalam benakku ini lebih mirip dengan pertempran karate antara sendok dan garpu.

Bosan dengan semua yang aku lakukan, aku mengalihkan pikiran dengan khayalan berada di rumah kontrakkan baru yang nyaman. Tidur di kamarku sendiri senagn kasur baru dan bantal yang nyaman. Wangu teh hijau dari pengharum ruangan yang memenuhi kamarku sendiri seperti kamarku dulu sebelum kebakaran. Dan yang paling membsahagiakan adalah aku bisa lebih sering bertemu dengan teman lamaku kalau dia pulang ke rumah.

JEGEEER….

Aku tidak tahu bagaimana mendeskripsikan suara petir itu seperti apa, yang pasti aku tersentak kaget bukan main mendengar suara petir yang tiba-tiba menyambar hingga membuat garpuku terjatuh ke lantai. Setelah itu, barulah aku sadar dari lamunanku. Kuperhatikan piringku, oh…. Nasi-nasi dalam piringku berhamburan di atas meja. Semua yang ada di situ melihatku dengan ekspresi wajah kaget dan bingung versi mereka masing-masing, terlebih Dian, sedangkan akuhanya bisa memasang wajah setenang mungkin walau aku tahu wajahku saat itu leih mirip wajah orang yang sedang gugup.

*****

Chapter 10 : Dia Masih Seperti Dulu
“Dian mana , El?”
Lamunanku tentang dirinya bunyar seketika. Aku menoleh ke arahnya dan tak sengaja aku menatap matanya. Lagi-lagi tatapan matanya yang santai masih sama dengan tatapannya yang dulu. Membuatku merasa betah.
“Dian tadi pergi ke kantor sama Bagas. Kasihan dia, semua bahan berita yang dia buat tadi malam juga ikut terbakar.”
“Lalu?” dia bertanya serius dengan alis mengerut. Tak sabar meninggu jawaban.
“Aku lapar. Aku belum makan dari tadi pagi.”
Dia kembali tersenyum, kali ini setengah tertawa mendengar perkataanku.
“Aku serius,” kataku membela diri karena aku sama sekali tidak terima dia tertawakan seperti itu.
“Mau makan apa, sih?’
Aku terdiam. Berpikir sejenak apa yang ingin aku makan. Sejumlah usulan makanan muncul di kepalaku, tapi cuma satu yang kupilih, dan langsung saja aku utarakan pada teman lamaku itu.
“Enaknya sih, makan nasi goring.”
Dia terkejut mendengar perkataanku.
“Nasi goreng? Nyari di mana nasi goreng pagi kaya gini, El? Kalau malam sih banyak yang jualan nasi goreng. Beli bubur ayam aja, kan warung bubur ayam ada di perempatan jalan sana.”
Aku langsung cemberut dengan sedikit dibuat-buat. Aku memang jarang, sebenarnya malah tidak pernah sama sekali, makan bareng dia. Wajar saja kalau dia tidak tahu sama sekali makanan kesukaanku adalah nasi goreng. Tidak adil namanya kalau aku marah hanya gara-gara hal seperti ini. Namun sekian lama aku tidak bertemu dengannya, sekian lama aku tidak ngambek padanya.
“Bubur ayam di perempatan jalan sana enak kok, El.” Dia mencoba membujukku.
“Emang sih enak, tapi kamu tau nggak….” Aku sengaja diam beberapa detik untuk memancing rasa penasaran dia. “Terakhir kali aku makan bubur ayam, lidahku hampir melepuh gara-gara kepanasan.”
“Kamu sih nggak hati-hati. Makanya kalau makan pelan-pelan. Makanan tuh bukan mahluk yang punya kaki yang kalau lambat disantap dia bias kabur.”
Dia mulai memberiku petuah atau mungkin wajengan, yang baiknya harus aku turuti dan lakukan, seperti sering dia lakukan dulu padaku.
Suara deru mobil terdengar berhenti di depan rumah. Sejauh yang aku kenal, suara deru mobil itu adalah suara mobil Bagas. Aku segera keluar dan di luar ku lihat Dian dan Bagas keluar dari mobil bersamaan.
“DIAN!!.” Aku berteriak memanggil Dian.
Dian menoleh ke arahku dan langsung mendatangiku, diiringi Bagas yang berjalan di belakangnya. Dian sama kucelnya dengan penampilannya subuh tadi. Ku kira dia akan numpang mandi di rumah temannya atau di rumah Bagas sebelum pergi ke kantor.
“Gimana, Mbak Di?” tanyaku penuh rasa ingin tahu. “Kok lama.”
“Jangan kira komputerku meledak dan rumahku terbakar akan bias menghentikan tulisanku di koran. Beritanya bakal tetap ada di koran tiap hari selama aku masih hidup,” jawab Dian penuh rasa percaya diri. “Tiap tulisan yang aku buat, aku buat copynya sampai tiga atau bahkan empat dan tersebar di mana-mana.”
“Di mana-mana, di mana, Mbak?”
“Ada yang di CD-R, disket, flash drive, dan ada juga yang di laptop Bagas. Tadi malam baru aku pindah ke laptop Bagas.”
“Smart juga.”
Dian memiringkan kepalanya dan tampak memandangi sesuatu melalui pundakku. Dia lalu melirik ke arahku dengan lirikannya yang khas, matanya menyorotkan rasa ingin tahu yang menjilat-jilat seluruh jiwanya. Aku menoleh ke belakang. Ku lihat sesosok pria muda dengan baju kaos oblong hitam dan celana pendek sedang berjalan kea rah kami.
“Hei, kapan balik? Kamu apa kabar?” sapa Dian.
“Baru dua hari yang lalu,” jawab pria muda itu yang tidak lain adalah teman lamaku.
“Pacar kamu ya, El?” celutuk Baga.
Aku sangat kaget mendengar apa yang dikatakan Bagas. Bagaimana mungkin dia bisa berkata seperti itu, sedangkan kami tidak menunjukkan gelagat layaknya seorang pasangan. Apakah sesuatu hal yang aneh kalau aku punya teman yang lumayan dekat tetapi berbeda jenis kelamin. Dan setiap kedekatan yang seperti itu harus diresmikan sebagai hubungan yang dinamakan pacaran. Aku salah satu orang di dunia ini yang sangat tidak setuju dengan hal seperti itu. Aku dan dia berteman dalam batas normal. Kami pernah dekat karena kami adalah manusia waras yang menjunjung tinggi sikap saling menghormati. Respect. Sangat menyenangkan mengenal dekat seseorang. Mengetahui banyak hal tentang seseorang dan belajar banyak hal darinya. Itulah salah satu dari sekian banyak hal terbaik yang ada di dunia ini. Paling tidak hidupku tidak melulu monoton dengan satu warna.
“Dia teman lama aku, Cuma sudah lama kita nggak ketemu,” jelasku mencoba menyakinkan Bagas. “Mbak Di, cari makan, yuk. Lapar nih.” Aku sengaja mengalihkan pembicaraan. Aku tidak ingin Bagas terlalu banyak bertanya tentang aku dan teman lamaku itu.
“Oh, iya, El,” Dian berbicara seperti orang yang baru menemukan kembali ingatannya yang hilang. “Sementara ini kita numpang di rumah temanku. Namanya Intan, dan ruamahnya ngak jauh dari sini. Kita bakal tinggal di sana sampai dapat kontrakkan baru. Nanti kita cari kontrakkan yang dekat sama kantor aku, jadi kalau ada apa-apa bisa langsung ke kantor.”
“Apanay yang apa? Kalau gotu jauh dari kampus aku, domg. Udah cukup Mbak tiap kali masuk aku lebih sering masuk telat daripada tepat waktu.” Aku protes habis-habisan kalau Dian benar-benar mencari rumah kontrakkan yang dekat dengan kantornya. Bagaimana tidak, waktu yang harus aku perlukan sekitar setengah jam perjalanan untuk sampai ke kampus dari kawasan tempat kerja Dian, belum terhitung macet yang biasa terjadi tiap pagi.
“Tapi kalau dekat kantor lebih aman, El.”
“Kenapa nggak tinggal di kantor aja sekalian? Memangnya kantor kamu kantor polisi.”
“Dekat rumahku ada rumah kontrakkan, er…. Kalau mau di sana aja.”
Aku menoleh kea rah teman lamaku sekali lagi. Dia mengusulkan agar aku tinggal dekat rumahnya. Apa itu akan membuat frekuensi bertemu kami akan jadi lebih banyak? Aku senang kalau begitu, tapi tetap saja tidak bias begitu, karena dia masih harus menyelesaikan kuliah magisternya.
“Oh ya,” Dian mengeluarkan ekspresi yang kurasa tak perlu dia keluarkan. “Memangnya rumah kamu dimana?”
“Tigablok dari sini. Rumahnya paling ujung. Bangunannya baru aja direnovasi jadi dua lantai.”
“Nanti deh, kalau ada waktu sore nanti kami coba liat-liat ke sana,” kata Dian sambil melirik ke arah ku.
Aku merasa OK saja dengan sikap Dian barusan, paling tidak dia menghargai tawaran dari teman lamaku. Aku tahu melalui lirikannya, Dian meminta agar aku mengeluarkan sedikit suara atau gerakan tubuh sebagai sebuah tanda setuju atas pernyataannya. My dear, aku saying dia sebagai kakak terbaik yang pernah Tuhan anugerahkan untuk ku, dan aku tak sampai hati membuatnya jadi repot gara-gara aku.
“Terserah aja deh, yang penting kita semua bias merasa aman dan nyaman mau tinggal di mana pun,” kataku dengan mencoba sedikit melunak. “Mbak Dian, makan Yuk.”
“Ya ampun, El, kamu belum makan? Kenapa enggak cari makan sendiri aja tadi?”
“Nggak ada uang,” jawabku dengan polosnya, “kan dompet yang ada uang banyak ketinggalan di kamar dan ikut kebakar. Dompet yang ada sama aku Cuma ada uang dua ribu lima ratus rupiah.”
“Kebanyakan punya dompet sih!” celutuk Bagas.
“Ya udah, kita cari makan sama-sama,” kata Dian sambil menarik lengan kananku, “mau makan apa?”
“Soto.”
“Tadi katanya mau makan nasi goreng,” protes teman lamaku dari belakang.
“Masalahnya sekarang aku mau makan sesuatu yang berkuah.”
Aku tersenyum kea rah teman lama ku itu dengan mamerkan kebahagiaan di wajahku yang semula aku simpan. Aku bahagia karena aku masih di beri kesempatan sekali lagi untuk, paling tidak, sedikit ngerjain dia.
*****

Chapter 10 : Dia Masih Seperti Dulu
“Dian mana , El?”
Lamunanku tentang dirinya bunyar seketika. Aku menoleh ke arahnya dan tak sengaja aku menatap matanya. Lagi-lagi tatapan matanya yang santai masih sama dengan tatapannya yang dulu. Membuatku merasa betah.
“Dian tadi pergi ke kantor sama Bagas. Kasihan dia, semua bahan berita yang dia buat tadi malam juga ikut terbakar.”
“Lalu?” dia bertanya serius dengan alis mengerut. Tak sabar meninggu jawaban.
“Aku lapar. Aku belum makan dari tadi pagi.”
Dia kembali tersenyum, kali ini setengah tertawa mendengar perkataanku.
“Aku serius,” kataku membela diri karena aku sama sekali tidak terima dia tertawakan seperti itu.
“Mau makan apa, sih?’
Aku terdiam. Berpikir sejenak apa yang ingin aku makan. Sejumlah usulan makanan muncul di kepalaku, tapi cuma satu yang kupilih, dan langsung saja aku utarakan pada teman lamaku itu.
“Enaknya sih, makan nasi goring.”
Dia terkejut mendengar perkataanku.
“Nasi goreng? Nyari di mana nasi goreng pagi kaya gini, El? Kalau malam sih banyak yang jualan nasi goreng. Beli bubur ayam aja, kan warung bubur ayam ada di perempatan jalan sana.”
Aku langsung cemberut dengan sedikit dibuat-buat. Aku memang jarang, sebenarnya malah tidak pernah sama sekali, makan bareng dia. Wajar saja kalau dia tidak tahu sama sekali makanan kesukaanku adalah nasi goreng. Tidak adil namanya kalau aku marah hanya gara-gara hal seperti ini. Namun sekian lama aku tidak bertemu dengannya, sekian lama aku tidak ngambek padanya.
“Bubur ayam di perempatan jalan sana enak kok, El.” Dia mencoba membujukku.
“Emang sih enak, tapi kamu tau nggak….” Aku sengaja diam beberapa detik untuk memancing rasa penasaran dia. “Terakhir kali aku makan bubur ayam, lidahku hampir melepuh gara-gara kepanasan.”
“Kamu sih nggak hati-hati. Makanya kalau makan pelan-pelan. Makanan tuh bukan mahluk yang punya kaki yang kalau lambat disantap dia bias kabur.”
Dia mulai memberiku petuah atau mungkin wajengan, yang baiknya harus aku turuti dan lakukan, seperti sering dia lakukan dulu padaku.
Suara deru mobil terdengar berhenti di depan rumah. Sejauh yang aku kenal, suara deru mobil itu adalah suara mobil Bagas. Aku segera keluar dan di luar ku lihat Dian dan Bagas keluar dari mobil bersamaan.
“DIAN!!.” Aku berteriak memanggil Dian.
Dian menoleh ke arahku dan langsung mendatangiku, diiringi Bagas yang berjalan di belakangnya. Dian sama kucelnya dengan penampilannya subuh tadi. Ku kira dia akan numpang mandi di rumah temannya atau di rumah Bagas sebelum pergi ke kantor.
“Gimana, Mbak Di?” tanyaku penuh rasa ingin tahu. “Kok lama.”
“Jangan kira komputerku meledak dan rumahku terbakar akan bias menghentikan tulisanku di koran. Beritanya bakal tetap ada di koran tiap hari selama aku masih hidup,” jawab Dian penuh rasa percaya diri. “Tiap tulisan yang aku buat, aku buat copynya sampai tiga atau bahkan empat dan tersebar di mana-mana.”
“Di mana-mana, di mana, Mbak?”
“Ada yang di CD-R, disket, flash drive, dan ada juga yang di laptop Bagas. Tadi malam baru aku pindah ke laptop Bagas.”
“Smart juga.”
Dian memiringkan kepalanya dan tampak memandangi sesuatu melalui pundakku. Dia lalu melirik ke arahku dengan lirikannya yang khas, matanya menyorotkan rasa ingin tahu yang menjilat-jilat seluruh jiwanya. Aku menoleh ke belakang. Ku lihat sesosok pria muda dengan baju kaos oblong hitam dan celana pendek sedang berjalan kea rah kami.
“Hei, kapan balik? Kamu apa kabar?” sapa Dian.
“Baru dua hari yang lalu,” jawab pria muda itu yang tidak lain adalah teman lamaku.
“Pacar kamu ya, El?” celutuk Baga.
Aku sangat kaget mendengar apa yang dikatakan Bagas. Bagaimana mungkin dia bisa berkata seperti itu, sedangkan kami tidak menunjukkan gelagat layaknya seorang pasangan. Apakah sesuatu hal yang aneh kalau aku punya teman yang lumayan dekat tetapi berbeda jenis kelamin. Dan setiap kedekatan yang seperti itu harus diresmikan sebagai hubungan yang dinamakan pacaran. Aku salah satu orang di dunia ini yang sangat tidak setuju dengan hal seperti itu. Aku dan dia berteman dalam batas normal. Kami pernah dekat karena kami adalah manusia waras yang menjunjung tinggi sikap saling menghormati. Respect. Sangat menyenangkan mengenal dekat seseorang. Mengetahui banyak hal tentang seseorang dan belajar banyak hal darinya. Itulah salah satu dari sekian banyak hal terbaik yang ada di dunia ini. Paling tidak hidupku tidak melulu monoton dengan satu warna.
“Dia teman lama aku, Cuma sudah lama kita nggak ketemu,” jelasku mencoba menyakinkan Bagas. “Mbak Di, cari makan, yuk. Lapar nih.” Aku sengaja mengalihkan pembicaraan. Aku tidak ingin Bagas terlalu banyak bertanya tentang aku dan teman lamaku itu.
“Oh, iya, El,” Dian berbicara seperti orang yang baru menemukan kembali ingatannya yang hilang. “Sementara ini kita numpang di rumah temanku. Namanya Intan, dan ruamahnya ngak jauh dari sini. Kita bakal tinggal di sana sampai dapat kontrakkan baru. Nanti kita cari kontrakkan yang dekat sama kantor aku, jadi kalau ada apa-apa bisa langsung ke kantor.”
“Apanay yang apa? Kalau gotu jauh dari kampus aku, domg. Udah cukup Mbak tiap kali masuk aku lebih sering masuk telat daripada tepat waktu.” Aku protes habis-habisan kalau Dian benar-benar mencari rumah kontrakkan yang dekat dengan kantornya. Bagaimana tidak, waktu yang harus aku perlukan sekitar setengah jam perjalanan untuk sampai ke kampus dari kawasan tempat kerja Dian, belum terhitung macet yang biasa terjadi tiap pagi.
“Tapi kalau dekat kantor lebih aman, El.”
“Kenapa nggak tinggal di kantor aja sekalian? Memangnya kantor kamu kantor polisi.”
“Dekat rumahku ada rumah kontrakkan, er…. Kalau mau di sana aja.”
Aku menoleh kea rah teman lamaku sekali lagi. Dia mengusulkan agar aku tinggal dekat rumahnya. Apa itu akan membuat frekuensi bertemu kami akan jadi lebih banyak? Aku senang kalau begitu, tapi tetap saja tidak bias begitu, karena dia masih harus menyelesaikan kuliah magisternya.
“Oh ya,” Dian mengeluarkan ekspresi yang kurasa tak perlu dia keluarkan. “Memangnya rumah kamu dimana?”
“Tigablok dari sini. Rumahnya paling ujung. Bangunannya baru aja direnovasi jadi dua lantai.”
“Nanti deh, kalau ada waktu sore nanti kami coba liat-liat ke sana,” kata Dian sambil melirik ke arah ku.
Aku merasa OK saja dengan sikap Dian barusan, paling tidak dia menghargai tawaran dari teman lamaku. Aku tahu melalui lirikannya, Dian meminta agar aku mengeluarkan sedikit suara atau gerakan tubuh sebagai sebuah tanda setuju atas pernyataannya. My dear, aku saying dia sebagai kakak terbaik yang pernah Tuhan anugerahkan untuk ku, dan aku tak sampai hati membuatnya jadi repot gara-gara aku.
“Terserah aja deh, yang penting kita semua bias merasa aman dan nyaman mau tinggal di mana pun,” kataku dengan mencoba sedikit melunak. “Mbak Dian, makan Yuk.”
“Ya ampun, El, kamu belum makan? Kenapa enggak cari makan sendiri aja tadi?”
“Nggak ada uang,” jawabku dengan polosnya, “kan dompet yang ada uang banyak ketinggalan di kamar dan ikut kebakar. Dompet yang ada sama aku Cuma ada uang dua ribu lima ratus rupiah.”
“Kebanyakan punya dompet sih!” celutuk Bagas.
“Ya udah, kita cari makan sama-sama,” kata Dian sambil menarik lengan kananku, “mau makan apa?”
“Soto.”
“Tadi katanya mau makan nasi goreng,” protes teman lamaku dari belakang.
“Masalahnya sekarang aku mau makan sesuatu yang berkuah.”
Aku tersenyum kea rah teman lama ku itu dengan mamerkan kebahagiaan di wajahku yang semula aku simpan. Aku bahagia karena aku masih di beri kesempatan sekali lagi untuk, paling tidak, sedikit ngerjain dia.
*****


Chapter 9 : Yang Pergi Datang Kembali
subuh berlalu diiringi pagi yang datang tanpa sinar matahari. Api sudah tak berkobar lagi, petugas pemadam kebakaran telah berhasil memadamkannya setelah berkutat selama hampir setengah jam lamanya. Petugas pemadam kebakaran telah bekerja dngan baik. Hanya dua bangunan yang terbakar, yaitu rumah yang kami aku tinggali dan sebuah toko ponsel yang terletak di samping rumah kontrakkanku. Menurut cerita Pak Ahmad yang tinggal di seberang rumahku, api berasal dari toko ponsel itu, dugaan sementara karena arus pendek. Toko ponsel itu sendiri tak pernah buka lagi sejak seminggu yang lalu.
Aku masuk ke dalam rumahku yang kini dihiasi puing-puing kebakaran. Semuanya tampak hitam dan gosong. Dinding-dinding rumahku yang semula berwarna putih tulang kini lebih mirip seperti dinding yang bercat arang. Semuanya hancur berantakkan, benar-benar tak ada barang yang dapat diselamatkan. Pak Ahmad bilang, api menjalar dengan cepat dan tak ada seorang pun yang berani mendekati rumah kami hanya untuk menyelamatka satu atau dua barang kami, melainkan mereka hanya berpikir bagaimana api itu agar tidak menjalar ke rumah yang lain.
Aku berjalan ke ruang tengah. Di sana, televisi dan komputer juga ikut terbakar, padahal Dian sudah menyiapkan naskah beritanya di dalam komputer itu. Aku mengalihkan pandanganku ke dinding pemisah antara ruang tengah dan ruang tamu. Tak ada lagi lukisan yang sempat membuatku ngeri untuk melihatnya tadi malam. Jauh di libuk hatiku, aku sebenarnya mengagumi lukisan itu, hanya saja terkadang aku ngeri saat memperhatikannya karena terasa sangat hidup.
“ELSIE !!!”
Terdengar sebuah suara laki-laki yang berteriak memanggil namaku dari luar rumah. Entah kenapa aku langsung saja pergi ke luar rumah untuk mencari tahu siapa yang memanggil ku. Tak perlu repot-repot ke luar rumah, baru sampai aku di ruang tamu aku sudah dapat mengetahui siapa yang memanggil ku. Ada seorang laki-laki yangmasuk ke ruang tamu. Aku tersenyum dan langsung mengenalinya. Dia teman lamaku, teman baikku dulu dulu yang udah beberapa tahun belakangan ini tidak pernah berjumpa dengan ku lagi. Aku mengeluarkan aekspresi jengkel saat melihatnya. Kenapa dia baru menemui ku di saat seperti ini? Tapi sebenarnya hatiku bahagia dapat melihatnya lagi.
“Hai, El!”dia menyapa ku duluan saat aku membalikkan badan hndak kembali melanjutkan penelusuran ku di setiap ruang yang masih dapat dijamah. Dia lalu mengikuti ku dari belakang.
“Kapan kamu balik?”tanyaku sambil berjalan menuju dapur.
“Dua hari yang lalu,” jawabnya singkat.
Aku sedikit kecewa mendengar jawabannya. Apa tak pernah terbesit dalam pikirannya untuk mengunjungi ku sebelum kejadiaan ini.
“El, rumah kamu kok bias kebakar kaya gini, sih?”
“Katanya sih karena arus pendek di toko ponsel sebelah. Kamu kok bias ke sini?”
“Aku baca di koran, Rumah Dian Gunawan Ludes Terbakar. Makanya aku langsung ke sini buat ngecek berita itu.”
“Masuk koran?” aku kaget. Aku benar-benar tak menyangka kejadian ini akan masuk koran.
“He eh. Dian apa kabar, sih? Dia hot banget, ya?”
Aku tak menjawab apa-apa selain mengangkat kedua alisku yang berarti, iya.
“Magister kamu gimana?” tanayaku mengalihkan pembicaraan.
Sejenak dia terdiam, tak menjawab pertanyaanku. Tapi dapat ku lihat , kedua ujung bibirnya tertarik dengan rileks dan dia tersenyum. Kepalanya lalu menunduk ke bawah, memandangi lantai yang kotor oleh abu kebakaran yang becek, kemudian kembali mendongak dan memandang ke sana-ke mari tak karuan. Lama tak bertemu ternyata dia tidak berubah sama sekali. Mungkin ini yang namanya sikap asli, dia selalu tersenyum sendiri bila ditanya hal-hal tentang dirinya.
“Kalau semuanya lancar, Cuma tinggal satu semester lagi. Makanya,doain.”
Aku rasa inilah saatnya mengeluarkan uneg-unegku padanya.
“Kenapa baru sekarang kamu ke sini? Kamu belum lupa sama teman lama kan.’
“Yah, nggak sempat, El. Kalau balik ke sini bawaannya Cuma pengen istirahat. Kangen rumah, kangen keluarga, kangen teman-teman juga.”
“Tapi kamu nggak pernah ke sini kan, yee….”
“Tapi kamu baik-baik aja kan. Zaman sekarang gitu, El, komunikasi nggak sesusah dulu. Kalau ada apa-apa kan masih bias nelpon, SMS, nge-blog.”
“Kalau rumahku nggak kebakaran, apa kamu bakal ke sini?”
“Elsie….” Cukup di situ, dia tak mlanjutkan kata-katanya lagi.
Mungkin tak seharusnya aku mengajukan pertanyaann seperti itu. Yapi semenjak kepergiaannya dan kami tidak pernah berjumpa lagi saat itu, semua hal yang terjadi dulu terasa salah bagiku. Salah karena tak mengucapkan salam oerpisahan. Salah karena tidak saling tegur duluan. Salah karena karena terlalu menyenangkan berteman dengan orang seperti dia. Salah karena mengenalnya. Dan semua kesalahan itu membuat aku merindukannya. Setiap hari yang aku jalani sendiri tanpa dia terasa seperti hari yang tanpa angin. Angin yang membuatku merasa sejuk, sampai lupa bahwa matahari yang bersinar telah berganti bulan. Angin yang membuat rambutku berantakkan sehingga aku harus merapikannya. Sifatnya yang terkadang menjengkelkan, seringkali menarik perhatianku. Selama ketidak berjumpaan kami, yan berarti tidak ada yang perlu aku perhatiakan, membuatku merasa seperti pengangguran. Gaya dia tertawa yang membuatku jadi ikut-ikutan tartawa, ya, itulah kesalahan terbesar dia padaku.
*****

Chapter 8 : Si Merah yang Mengamuk

Jalan di sekitar kawasan tempat tinggalku tiba-tiba saja ramai pagi itu. Banyak orang yang mondar-mandir di pinggir jalan, bahkan ada yang berlarian ke sana-ke mari dengan masih mengenakan pakaian tidur mereka. Samar-samar aku mendengar suara serine mobil pemadam kebakaran. Aku celingak-celinguk mencoba mencari asal kejadian. Sekitar seratus lima puluh meter, arah jam dua, aku melihat kobaran api yangmenjilat-jilat ke udara dan membuat cahaya memerah di sekitarnya. Kali ini jantungku berdetak lebih kencang lagi. Aku menepuk pundak Dian yang sedang mengenderai motorku.

“Aduh, El, rumah kita gimana, ya?” Tanya Dian denagn nada yang tak terkontrol, penuh kekhawatiran.

Lama-kelamaan semakin banyak orang yang berkerumun di jalan. Dian tidak bisa lagi mempercepat laju motor.

“El, kamu turun, El. Coba lihat apa rumah kita kena,” suruh Dian.

Aku segara turun dari motor dan berjalan secepat aku bias menembus kerumunan orang di jalanan. Beberapa kali aku menabrak orang-orang yang mengahangi jalanku. Mendorong mereka ke pinggir, meneriaki mereka dengan kata ‘permisi’ atau ‘minggir’, dan aku bahkan tidak memperdulikan kakiku yang menginjak kaki orang lain.

Jantungku memang tidak meledak, aku memang masih hidup dan sadarkan diri, namun seluruh darah di sekujur tubuhku terasa mendidih. Ini bukan jarena panasnya api yang berasal dari kebakaran tersebut, melainkan karena rasa kaget bercampur panik dan takut yang aku rasakan saat melihat rumah di depanku berdiri saat ini seluruhnya dilahap oleh si jago merah.

“Ya Allah….” Aku tidak dapat berkata apa-apa lagi, suaraku tersedak oleh tangis yang mendesak keluar.

Dian tiba-tiba muncul di sampingku dan langsung memelukku. Kami tak bias berbuat apa-apa dan hanya bisa menangis. Seluruh harta benda kami, kecuali si Putih motor matic ku, ada di dalam rumah yang terbakar itu. Sekarang kami hanya memiliki diri kami bersama pakaian yang melekat di tubuh kami. Beruntung Dian membawa handphonenya saat pergi tadi, sedangkan aku tidak.

Di pagi buta ini, entah nasib sial macam apa yang menimpa kami, semuanya serba tak jelas. Cukup kami tertipu dengan berita tentang om Yuda, dan kini tanpa tahu apa-apa rumah kami terbakar beserta seluruh isinya.

*****

Chapter 7 : Putra Bangsa

Aku dan Dian datang dengan tergesa-gesa ke rumah sakit. Aku memasang jaketku erat-erat karena entah mengapa aku merasa udara pagi ini sangat dingin sekali. Suasana di depan rumah sakit saat itu tampak lengang, hampir tak ada orang yang hilir mudik di halaman rumah sakit. Sesampainya di loby , aku dan Dian langsung menuju meja informasi untuk mencari tahu di mana om Yuda dirawat.

“Maaf, Mbak, ini bukan jam besuk,” kata si perawat yang sedang jaga saat itu.

“Sus,barusan ada orang masuk, bapak-bapak, namanya Yuda Arianto, pasien stroke, dirawat di mana, ya?” Tanya Dian, dengan irama yang tidak teratur dan jelas.

Perawat itu langsung berbalik ke belakang dan mengambil sebuah buku besar yang terletak di atas meja kay kecil yang panjang dibelakang meja informasi. Dia lalu membawa buku itu ke hadapan aku dan Dian dan membukanya dengan gerakan tangan yang cepat. Di halaman kesekian dari buku itu, jari tangan kanannya yang lentik mulai merayap turun dari atas ke bawah pada kolom nama. Setelah memeriksa sekitar tiga halaman, perawat itu mendongak dan menggelengkan kepalanya kepada kami.

“Maaf, Mbak, tidak ada pasien stroke yang bernama Yuda Arianto yang masuk hari ini,” jelas si perawat.

Dian menoleh ke arahku. “el, kamu yakin yang nelpon tadi tante Gina? Kok bias nggak ada, sih?”

“Beneran, Mbak.”

“Kamu ngigau kali, El.”

“Beneran, Mbak. Tadi tante Gina sendiri yang bilang kalau om Yuda kena stokr dan masuk rumah sakit sini,” kataku membela diri.”Begini saja, Mbak,” si perawat mencoba member solusi, “Mbak berdua silahkan melihat-lihat di sekitar ruangan ICU. Mungkin di sana ada seseorang yang mungkin orang yang Anda kenal. Tapi mohon jangan buat keribuatan.”

Aku merasa ada benarnya juga melakukan apa yang disarankan oleh perawat itu. Kami berdua lalu pergi ke ruang ICU. Sesampainya kami di sana, aku memasang mata dengan sangat terfokus untuk memperhatika melalui kaca pintu setiap kamar di ICU wajah-wajah orang yang terbaring ranjang danorang-orang yang ada di sekitar kami. Tapi, hampir sampai ujng ruang ICU, aku maupun Dian sama sekali tidak menemukan om Yda ataupun tante Gina, bahkan keluarga atau kerabat yang kami kenal.

Dian melirik jengkel ke arahku. “Nggak ada kan, El,” gerutu Dian.

Aku diam, tak tahu harus membalas denan jawaban seperti apa. Aku mencoba berpikir ulang, tapi aku yakin aku tidak salah. Orang yang engaku tante Gina tadi memang meminta kami untuk datang ke sini. Aku menggeleng pelan. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang sedang terjadi.

Dengan melangkah lunglai aku mengikuti Dian yang berjalan cepat dari belakang. Aku tahu dan dapat menyadarinya bahwa ekspresi Dian yang seperti itu berarti dia sedang jengkel. Aku tak berani mengeluaarkan epatah kata pun kalau berada dalm keadaan seperti ini.

Suara serine mobil pemadam kebakaran memecah keheningan pagi itu. Sebuah mobil besarpemadam kebakaran roda enam melintas dengan kecepatan tinggi di jalan raya. Aku terpana dengan apa yang aku lihat. Dan tiba-tiba tanpa ku minta jantungku berdetak dengan kencang.

*****

Chapter 6 : Ring… Ring…

Aku, tanpa rasa kantuk sedikit pun, bangun di pagi hari terlalu pagi. Saat kulirik jam yang terpajang di dinding kamarku yang berwarana putih, jam menunjukkan pukul setengah empat pagi. Tidurku tak enak, tak nyaman , dan tak tenang. Mungkin ini karena aku terlalu memikirkan apa yang terjadi antara Dian, Bagas, dan pak Bambang. Aku mulai khawatir saat Dian bilang dia mulai dibuntuti orang-orang aneh sejak memuat berita mengenai kasus korupsi ayah Bella. Memang dapat di bialng Dian yang mencari masalah dengan pak Bambang, dia terlalu berani untuk mengusiknya. Di atas segalanya, pak Bambang adalah orang yang dapt melakukan apa pun yang dia inginkan, semua yang dia lakukan berada di jalur aman. Untuk menyingkirkan Dian bisa dengan mudah dia lakukan, bahkan membuat ‘hancur’ koran yang menampung Dian saat ini.

Aku bangkit dari tempat tidurku dan berjalan keluar kamar menuju dapur. Rasa haus melanda, mungki deidrasi yang dikarenakan aku terlalu memikirkan hal ini. Ketika sampai di ruang tengah, tiba-tiba telpon rumah berdering. Aku membiarkan saja telpon itu bordering begitu saja tanpa ada keinginan dariku untuk mengangkatnya sampai akhirnya aku menjadi stress sendiri dan terpaksa mengangkatnya.

“Halo,” kataku dengan nada tidak ramah. Aku jengkel bila ada yang menelpon ke telpon rumah pagi buta seperti ini, membuat berisik.

“Halo, ini Dian?” Tanya sebuah suara perempuan bersuara serak di seberang sana.

“Bukan,Dian sedang tidur,” aku menjawab asal saja. Padahal aku sendiri tidak tahu apakah Dian sedang tidur atau tidak.

“Oh, er…. Ini Elsie, ya?” tanyanya lagi.

“He eh.”

“Elsie, ini tante Gina. Om Yuda masuk rumah sakit. Dia stroke mendadak. Kalian berdua tolonga datang ke sini , RS Putra Bangsa. Tolong tante, ya. Sekarang.”

Aku berusaha mengungat-ingat siapa tante Gina. Kalau aku tidak salah ingat, dia sepupu ayahku yang kaya raya itu. Seberapa penting sih kami sampai dia meminta kami datang sekarang.

“Elsie, sudah dulu , ya. Tante mau menghubungi keluarga yang lain lagi.” Setelah berkata begitu dia langsung menutup telpon.

*****

Chapter 5 : Bagas

Aku sedang membersihkan luka di mata kaki kiriku akibat terasah aspal ketika jatuh tadi siang dengan lap basah saat lonceng di depan pintu berbunyi di malam hari. Sumpah, aku malas berdiri untuk membukakan pintu karena kakiku pasti akan terasa sakit. Tapi karena satu penghuni rumah ini belum pulang, dengan menahan rasa sakit aku terpaksa membukakan pintu. Wajah Dian terlihat ceria saat aku membuka pintu. Di sampingnya berdiri seorang pria tinggi dengan pakaian perlente, namunagak sedikit berantakan. Aku menjauh meninggalkan pintu menuju ruang tengah untuk kembali membersihkan lukaku, mengacuhkan Dian serta pria yang datang bersamanya itu apakah mau masuk atau tidak.

Aku duduk di atas kursi dengan kaki kiri terangkat sambil membersihkan lukaku. Dian masuk ke ruang tengah dengan menggendong tas kerja yang biasa dia pakai dan sebuah tas yang ku tebak itu adalah tas laptop. Dia lalu meletakkan kedua tas itu di atas kursi di sampingku dan pergi ke dapur setelah itu. Sepertinya dia tidak memperhatikan apa yang aku kerjakan, sampai-sampai dia tidak berkomentar tentang lukaku. Paling tidak dia seharusnya bertanya, “kaki kamu kenapa, El?” Ok, untuk luka ringan seperti ini, sedikit ketidak perduliannya tidak akan membuat aku mati, ‘kan.

Dari tempat dudukku, aku dapat mendengar keributan yang dibuat oleh Dian di dapur. Dia memasukkan es batu ke dalam gelas, mungkin secara brutal, yang terdengar sampai sini. Lalu tak lama kemudian terdengar pula suara benda bertabrakkan yang menimbulkan bunyi kelontongan. Mendengar keributan itu, pria yang tadi datang bersama Dian berjalan menuju dapur melalui ruang tengah. Sebelum sampai ke dapur, dia berhenti dan menoleh ke arahku sambil bertanya, “apa yang terjadi, El?”

“tuh, Dian di dapur. Mungkin ada yang jatuh,” jawabku singkat. Aku sih maklum-maklum saja dengan segala keributan kecil yang sering dibuat Dian, karena dia tak pernah bekerja dengan tenang.

“El, kaki kamu kenapa?”

Aku mendongak dan menatap pria itu. “Terjatuh dari motor tadi siang,” jawabku singkat. Saat melihatnya, aku yakin bahwa yang aku lihat tadi siang adalah benar orang yang aku kenal. Jadi, ada harga atas luka di mata kakiku, paling tidak aku tidak memperhatikan orang yang salah.

Aku tak pernah menyangka sebelumnya bahwa Bagas, tunangan kakakku, berminat ikut berkecimpung di dunia politik. Bagas aku kenal selama ini adalah seorang pengacara handal yang berasal dari sebuah firma hokum terkenal yang dia dirikan bersama kakaknya dengan penghasilan yang dapat dikatakan memakmurkan.

“Kamu tadi ikut kampanye?” tanyaku tanpa basa-basi.

Kedua alis Bagas terangkat tinggi. “Memangnya tadi kamu juga ikut kampanye?”

“Enggak, cuma liat pas lewat di jalan tadi. Kok bias, Gas?”

“Aku jadi juru kampanye dia. Pak Ilham sendiri yang meminta ku sejak awal dia mencalonkan diri sebagai Gubernur. Dan aku yakin, EL, dia akan menang.”

“Tentu saja karena ayah Bella sudah tersandung skandal korupsi itu,” kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku.

Entah ini sebuah kebetulan atau memang sudah terencana sebelumnya, Bagas menjadijuru kampanye pak Ilham, lawan ayah Bella, dan Dian berkutat habis-habisan menguak skandal korupsi ayah Bella yamg tak pernah terungkap sebelumnya. Aku terusik dengan keadaan ini dan langsung mengutarakan apa yang aku pikirkan, “wow, kamu jadi juru kampanye Mr. Ilham, sedangkan Dian jadi wartawan yang terlalu berani mengungka p kasus korupsi ayah Bella.”

“Ayah Bella? Maksud kamu Pak Bambang. Memangnya Bella itu siapa kamu, El?”

“Teman kuliah aku.”

“Teman? Pantas Dian dengan mudah dapat berita.”

Aku diam tak membalas komentar Bagas. Kubiarkan saja suasana diam yang aneh meliputi kami. Tak lama kemudian terdengar lankah kaki Dian dari dapur sedang menuju ke ruang tengah “Ada yang aku tidak tahu, ya, Gas?” tanyaku serius kepada Bagas dengan suara yang sengaja kutajamkan, sesaat sebelum akhirnya Dian masuk.

“Lho, kok brdiri di situ, Gas?” Dian masuk dengan membawa dua gelas es jeruk yang dia pegang di kedua belah tangannya, lalu menyerahkan gelas yang ada di tangan kanannya kepada Bagas yang sangat menyukai minuman jeruk. “Kita ngobrol di ruang tamu aja, ya,” mereka berdua kemudian berjalan ke ruang tamu.

Selama waktu berjalan saat itu, aku memperhatikan mereka sampai mereka hilang dari pandanganku di ruang tengah, di mana ruang tamu dan ruang tengah yang dihalangi oleh tembok dinding berwarna putih tulang. Di dinding itu ada sebuah lukisan potret hitam putih besar bergambar sekelompok gadis yang duduk-duduk di bawah pohon rindang di sebuah padang rumput. Aku merasa beberapa gadis dalam lukisan itu memendangiku dengan pandangan yang terasa hidup. Seorang di antaranya berambut keriting dan bermata besar , tampak sedang melotot ke arah ku. Aku langsung memalingkan mukaku, lalu berdiri dan pergi ke kamar tanpa menoleh sedikit pun ke belakang.

Aku harus melawati ruang tamu agar bias sampai ke kamarku. Di sana aku melihat Dian dan Bagas duduk bersebelahan, di kursi kayu dengan ayaman rotan pada dudukan dan sandaran. Sekilas, sambil lewat, aku dapat mendengar apa yang mereka bicarakan.

“Singkirkan dia dan semuanya akan beres,” Kata Bagas.

“Pilkada tinggal lima hari lagi, Gas, aku harus cari bukti ke mana?” keluh Dian.

“Kamu kan wartawan hebat, pasti gamapng dapat buktinya.”

“Bukan masalah gampang atau tidaknya, tapi belakangan banyak orang aneh yang membututi dan menyulitkan ku.”

Aku masuk ke dalam kamar dan menutupnya rapat-rapat tanpa menguncinya. Di sini aku tidak dapat lagi mendengar apa yang dibicarakan Dian dan Bagas, ang terdengar hanyalah deru motor dan mobil yang sesekali melintasi jalan di depan rumahku. Melalui jendela kamar yang sengaja tidak aku turunkan gordennya, aku menatap kosong kea rah jalan yang tak kunjung sepi walau malam sudah selarut ini. Aku merenung dalam pikiranku, ‘apa yang sebenarnya terjadi?’.

*****

…. Kafe pelangi
Kafe Pelangi baru buka setelah tengah hari. Pemiliknya yang bernama Jolie pastilah bangun kesiangan. Semalam kafe itu adalah kafe terlaris dan paling padat pengunjungnya di antara semua kafe yang ada di kota itu. Orang-orang seperti tak henti-hentinyanya datang ke kafe sampai hujan deras datang mengguyur dan para pengunjung memutuskan untuk pulang dengan berhujan-hujanan. Setelah semua pengunjung pergi Jolie menutup kafenya dengan senyum yang teruntai di wajahnya yang kelelahan, namun puas dengan pengunjung yang datang malam itu. Sebernya Jolie malas sekali membuka kafe hari ini karena dia merasa amat sangat malas dan lelah. Hanya saja kafenya adalah kefe terbaik di kota di kota yang tak pernah sepi pengunjung dan selalu menghasilkan banyak uang, jadi Jolie merasa harus selalu membuka kafenya agar bias dapat banyak uang.
Pintu masuk kafe menderit berbunyi. Tak lama kemudian dari balik pintu muncul seorang gadis berperawakan tinggi dan kurus dengan rambut pendek berwarna coklat. “Jolie, kamu di mana ?” teriakya saat memasuki kafe. Tak ada jawaban dari Jolie. Gadis itu krmudian berjalan menuju sudut kafe, di mana di san ada sebuah pintu dari kayu yang menghubungkan kafe dengan sebuah ruangan semacam ruang kerja. Di ruang itu biasanya Jolie mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiata kafe. Mulai dari menghitung untung dan rugi kafe, bebam gaji para karyawan -yang sebenarnya merupakan teman-temannya sendiri-, daftar lau yang diputar untuk meramaikan suasana kafe, jadwal pertunjukan band-band penghibur, sampai pada tata lampu juga diatur melalui ruangan ini. Gadis itukemudian perlahan membuka pintu dan masuk ke dalamnya. Dilihatnya Jolie tenggelam dibalik meja kerjanya yang penuh dengan berbagai macam buku catatan.
“Ada apa?” Tanya Jolie sambil mendongak memandangi gadis itu.
Gadis itu memasukkan kedua tangannya ke dalam sku celananya , lalu menghirup nafas dalam-dalam. “Boleh aku pinjam uang sekali lagi?” pintanya dengan wajah memelas.
“Untuk apa? Hutangmu sebulan yang lalu sepeser pun belum kau bayar.”
“Aku inain ikut pemilihan model iklan. Uang pendaftarannya seratus ribu rupiah dan ku pikir aku harus ke salon agar terlihat lebih cantik.”
“Aku tak yakin akan menghutangimu. Kalau kamu tidak terpilih, akmu tidak dapat apa-apa kan. Bagaimana kamu akanmembayar hutang-hutangmu?”
“Aku rela bekerja di sini walau tidak di bayar.”
Jolie terdiam. Dia mempertimbangkan apa tawaran gadis itu. Mempekerjakan seseorang tanpa harus membayarnya, tetapi memakai tenaganya sebagai karyawan dan memperhitungkan hal itu sebagai sebuah bakas jasa gadis itu kepada Jolie karena telah menghutangi dirinya. Sedikit menguntungkan, pikir Jolie. Tapi dia tak dapat mempercayai gadis itu menjadi karyawannya begitu saja. Bagaimana mungkin seorang yang begitu suka berhutang tetapi belum sepeser pun membayar hutang-hutangnya dapat bekerja dengan baik. Seorang yang seperti itu adalah seorang pemalas. Seorang yang tidak dapat dipercaya. Dilihat dari penampilannya pun, gadis itu tidak member jaminan dengan baik. Penampilannya agak berantakan. Sulit untuk dipercaya seorang dengan pierching di hidung dan bibir dapat melayani pengunjung dengan baik. Seorang sepertiitu tidak pernah selalu melakukan sesuatu secara benar.
“Ku rasa aku tidak dapat mempekerjakanmu menjadi karyawanku walau pun kamu tak meminta bayaran.” Kata Jolie kemudian.
Gadis itu terdiam mendengar pernyataan Jolie. Dia tak tahu harus berkata apalagi untuk meyakinkan Jolie. Dia sendiri sebenarnya sadar bahwa tak banyak orang di dunia ini yang yakin pada dirinya. “Aku tahu. Ku rasa kau sama seperti yang lain. Tak dapat mempercayai orang aku, kan?”
Jolie mengangkat kedua bahunya. “Entahlah, tapi aku sedang sulit sekarang.”
“Maksudmu?”
“Aku juga tak tahu, yang pasti aku sedang merasa sulit untuk beberapa hal.”
“Oh, begitu. Mmmm …. Ku rasa sebaiknya aku pergi sekarang.”
Gadis itu lalu berjalan hendak ke luar. Saat mendekati pintu dan sebelum membukanya, gadis itu berhenti dan berkata, ”Semoga kamu bias mengatasi semua kesulitanmu, Jolie. Aku bersumpah akan membayar semua hutangku seandainya aku mendapat pekerjaan. Dan ku harap aku bias menjadi model iklan itu. Aku tidak terlalu buruk, kan?!”
Jolie tersenyum hambar. Dia malas mengakui bahwa gadis itu limayan manis. Sejenak, Jolie menatap kasihan kasihan pada gadis itu. Mengapa dia tidak berpikir untuk mencari pekerjaan yang lebih menjajikan dari pada terlalu berharap dari audisi seperti itu.
Tiba-tiba sebuah pikiran mengetuk hatinya. Gadis itu yang salah atau dia yang tidak berperi kemanusiaan, tidak mau member kesempatan pada gadis itu? Kalau dia katakan hal ini pada ibu, adik atau pun teman-temannya, mereka pasti akan berkata ‘jangan menilai sesuatu dari penampilnnya’.

Chapter 4 : Yang Ku Duga dan Yang Ku Lihat
Setelah hujan reda, aku pulang ke rumah dengan menaiki motor matic kesayangan ku. Sebenarnya, tak ada yang tahu bahwa diam-diam aku member nama motor ku ini si Putih. Nama yang biasa, hanya karena warna motorku itu putih. Jalanan masih basah dan terlalu licin intuk mengebut saat ini. Aku menjalankan motorku secara pelan sehingga aku dapat memperhatikan aegala sesuatu yna dapat menarik perhatiaanku saat itu. Poster dan spanduk pesera pilkada terpasang di berbagai tempat. Di sebuah baliho yang berdiri di pembatas jalan, ak melihat wajah ayah Bella tersenyum, namunwajahnya kotor dengan noda-noda yang tidak seharusnya ada di situ. Aku tidak tahu noda apa itu dan perbuatan siapa, mungkinkah ini perbuatan orang-orang yang membencinya? Mungkinkah mereka membecinya karena dipicu berita yang ditulis Dian? Setelah melewati baliho itu, ak mencoba untuk tidak memperdulikannya, namun mengacuhkannya malah mengacaukan pikiranku.
Kita membutuhakan pemimpin yang dapat Kita percaya
Kita butuh pemimpin yang jujur

Aku baru tahu ada yang berkampanye di daerah sini, tidak jauh dari tempat aku mengenderai motorku, di sebuah lapangan kosong. Jalan yang melalui lapangan itu jadi macet karena banyak orang yang berdiam di pinggir jalan untuk menyaksikan kampanye.
Kita butuh pemimpin yang bias mengatur provinsi Kita dengan baik
Si juru bicara kampanye terus berbicara keras melalui megaphone mengucapkan kalimat-kalimat khas kampanye yang dapat membujuk siapa saja agar memilih orang yang dikmpanyekan. Bagi ku itu tidak berarti apa-apa karena setiap orang yang berkampanye selalu seperti itu, berjanji manis sebisa mungkin dan menepatinya kalau bisa. Diam-diam aku mendengarkan visi dan misi yang ditawarkan oleh si calon gubernur walaupun aku tidak tahu siapa yang berkampanye di situ. Kemudian saat aku melintas di depan lapangan tempat kampanye tersebut berlangsung, aku dapat mengetahui siapa yang berkampanye di lapangan itu. Kandidat calon gubernur lain, lawan ayah Bella, sedang berdiri di tengah panggung menyerukan visi dan misinya. Namun ada hal lain yang menarik perhatianku. Aku seperti mengenal sesosok pria yang berdiri di samping calon gubernur dengan pakaian perlente yang terlihat sangatpas di tubuhnya yang tinggi. Dia mengepalkan tangannya ke atas di sertai dengan sorak-sorai peserta kampanye. Aku memicingkan mata, mencoba mengenalinya dan meyakinkan diriku sendiri bahwa dia adalah orang yang benar-benar aku kenal.
BRUKK.
Aku tersungkur jatuh di atas aspal dengan posisi motorku menindih kaki kiriku. Untungnya aku jatuh tidak mengenai motor di sampingku yang dikenderai seorang ibu tua. Kalau aku jatuh mengenainya, mungkin dia akan jatuh ke samping dan mengenai pengendara motor yang ada di sampingnya, sampai seterusnya. Aku mencoba berdiri dan kembali menaiki motorku sendiri. Betapa malunya aku saat menyadari bahwa tadi aku menabrak mobil yang berjalan pelan di depanku gara-gara aku sibuk berusaha mengenali pria perlente itu. Sudahlah, dan aku berusaha untuk memberikan ekspresi yang tidak berlebihan kepada orang di sekitarku yang dapat ku rasakan sedang memandangi ku. Sebisa mungkin aku mencoba untuk cepat-cepat keluar dari kemacetan ini dan aku memutuskan memikirkan pria perlente itu di rumah saja bersama Dian nanti.
*****

Chapter 3 : Darah Persaudaraan
Hari ini aku sama sekali tidak bertemu dengan Bella. Aku tak melihat batang hidungnya sejak tadi pagi sampai kuliah habis di siang hari yang berhujan. Aku tidak tahu apa yang terjadi, mungkin Bella sakit atau dia ada urusan penting yang sangat tidak bias ditinggalkan sehingga dia tidak masuk hari ini. Aku sempat berpikir Dian memuat sebuah atrikel tentang apa yang aku bicarakan tadi malam, dia bias jadi tidak siap namanya disebut-sebut.
Aku sedang asyik menikmati mi ayamku di kafetaria kampus bersama Metha dan Ale, teman baik ku, ketika Rian datang sambil melambaikan koran ke arah ku. Dia mendorong Aria, menyuruhnya bergeser ke samping agar dia bias duduk berhadapan dengan ku. Aku berlagak saja tidak peduli dengan kedatangannya. Aku sudah tahu dia pasti akan membahas artikel tentang skandal calon Gubernur yang ditulis Dian di koran itu.
“Kakakmu dibayar berapa, sih, sampai dia mau menulis artikel tentang ayahnya Bella?” kata Rian sambil membuka koran di hadapanku lau menujuk-nunjuk sebuah artikel dengan judul, ‘Calon Gubernur Gelapkan Pajak Penghasilan’.
Aku segera merebut koran itu dari Rian dan membaca seluruhnya isi artikel tersebut. Inti tentang artikel itu kurasa aku sudah tahu sejak tadi malam, namun yang paling menarik minat ku saat ini adalah mencari tahu apa Dian memuat apa yang aku ceritaka tentang Bella tadi malam. Ternyata Dian tak memuat sedikit pun tentang Bella. Ada rasa bersyukur dalam hati ku, sungguh aku tidak ingin ada masalah yang timbul antara kami berdua. Suadah cukup perasaan seperti kemarau panjang yang selalu terasa saat kami berdekatan.
“Pilkada sudah dekat dan beritanya semakin menjadi-jadi.” Lanjut Rian.
“Inikan kebenaran yang harus diungkapkan dia belum jadi Gubernur saja, sudah banyak merugikan Negara, apalagi kalau jadi Gubernur.” Kata ku membalas komentar Rian.
“tapi, El, hal ini terang banget seperi usaha untuk menjatuhkandia.”
Aku tersenyum, teringat berita tentang ini yang sering muncul di TV. “Di TV, dia juga bilang begitu.asal tahu aja, ya, Dian itu bukan orang yang suka memanfaatkan pekerjaannya untuk menjatuhkan orang lain.”
“Tapi Cuma koran ini yang selalu mengusut skandal ini.” Rian menunjuk-nunjuk nama koran sambil melotot kea rah ku. Sebenarnya dia tak perlu melotot seperti itu, karena matanya memang sudah besar walau tidak sedang melotot. “Lagi pula, kenapa cuma dia yang jadi penulis tunggal berita ini?”
“Dian itu orangnya konsisten, kalau sudah mulai dari A berarti akhirnya harus sampai Z.” Jawabku membela Dian. Aku muak dengan komentar seperti itu dan terpaksa balas berkomentar seperti ini setiap kali pembicaraan seperti ini berlangsung. Aku mati-matian membela Dian sebisa ku, karena dia adalah kakak ku. Aku rasa dia tidak akan melakukan hal yang ‘kotor’ sekalipun untuk mendapatkan kesenangan tingkat tinggi. Hiduo bersma dengannya selama hampir dua puluh satu tahun, besar di keluarga yang sama dengan didikan yang sama dari orang tua, aku rasa aku tahu Dian itu seperti apa. Karena kami mirip dalam hampir setiap tindakan.
*****